Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Fenomena Begal Motor, JK Salahkan Sistem Pendidikan

3 Maret 2015   23:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:13 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_400669" align="aligncenter" width="680" caption="Begal/Tribunnews.com"][/caption]

Oleh : eN-Te

[caption id="attachment_371281" align="aligncenter" width="276" caption="Sumber Gbr. http://kumpulantugaskita.blogspot.com"]

1425374158526321870
1425374158526321870
[/caption]

Maraknya aksi begal motor di beberapa kota besar di Indonesia akhir-akhir ini juga mendapat perhatian dari Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK). Intensitas begal motor yang melibatkan anak-anak baru gede (ABG) yang sebagian besar masih berusia sekolah, yang dalam menjalankan aksinya tidak segan-segan melukai bahkan membunuh korbannya, telah menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Tak terkecuali seorang Wapres JK. Menurut JK, aksi begal motor yang terjadi akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa sistem pendidikan Indonesia ada yang salah (baca di sini). Benarkah ada yang salah dalam sistem pendidikan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita mencoba mengelaborasi berbagai varian kemungkinan yang turut memberikan determinasi terhadap sistem pendidikan Indonesia.

Distorsi Tujuan Pendidikan

Secara umum menurut teori, pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk memanusiakan manusia (individu). Jadi tujuan pendidikan adalah meningkatkan kemampuan individu sebagai peserta didik untuk mencapai keselarasan hidup pada tiga ranah penting, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, dalam prakteknya ketiga ranah utama yang harus dicapai melalui proses pendidikan ini mengalami distorsi. Di mana hanya pada aspek-aspek tertentu yang mendapat porsi yang lebih besar untuk dikembangkan dibandingkan aspek lainnya. Padahal seharusnya agar tujuan pendidikan ini dapat tercapai secara optimal maka ketiga ranah kemampaun ini harus bergerak dan berjalan, serta berkembang secara simultan (bersamaan). Tidak boleh ada yang lebih menonjol dibandingkan yang lainnya. Meskipun hal itu dimungkinkan, akan tetapi hendaknya kondisi tersebut dapat ditolerir dalam batas-batas tertentu.

Pernyataan Wapres JK yang menyebutkan bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia sehingga menimbulkan aksi-aksi kekerasan yang melibatkan anak baru gede (ABG), usia sekolah, seakan-akan mengkonfirmasi tentang centang perenang sistem pendidikasn Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan Indonesia, sejak kemerdekaan sampai sekarang tidak pernah “selesai”. Setiap pergantian rezim, berganti pula kurikulum pendidikan. Sehingga kondisi, selalu berganti kurikulum ini merupakan ritual rutin setiap pergantian pemerintahan yang berkuasa. Jika pemerintahan yang mendapat amanah rakyat untuk memegang kekuasaan berideologi “kanan”, maka sudah dapat dipastikan bahwa orientasi nilai yang ingin dikembangkan pasti beraroma ideologi “kanan”. Begitu pula sebaliknya, apabila rezim yang sedang memerintah berideologi “kiri”  maka sudah pasti nilai-nilai ideology “kiri” yang lebih mendapat porsi untuk dikembangkan.

Rezim yang berideologi nasionalis juga pasti mengembangkan pendidikan berbasis ideologi nasionalis. Yang berideologi liberal, sekuler, maupun sosialis, juga mengembangkan pendidikan dengan basis ideologinya masing-masing. Maka tak heran sistem pendidikan Indoensai tidak pernah menemukan bentuknya yang baku, tetap pada posisi tidak pernah “selesai”. Maka wajar, bila seorang Wapres JK merasa perlu harus menegaskan kembali bahwa (memang) sistem pendidikan Indoensai masih perlu pembenahan dan penyempurnaan secara serius dan berkelanjutan. Ada sesuatu yang salah dari sistem pendidikan negeri ini sehingga membuat bangsa ini sangat beringas dan pendendam.

Faktor Berpengaruh

Bahwa banyak faktor yang turut berpengaruh dalam sikap anarkhis dan main hakim sendiri oleh massa. Di samping karena faktor ekonomi, tekanan kemiskinan, pendidikan turut pula memberi andil yang tidak sedikit terhadap sikap-sikap eksplosif, reaktif-emosional, dan agresif-ofensif.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Salah satu faktor yang membuat anak negeri ini dengan mudah mengekpresikan kehendaknya secara anarkhis, meski harus melanggar norma-norma (sosial, hukum, dan agama) yang penting tercapai tujuannya, adalah karena pengabaian pada aspek yang berkaitan dengan sikap perilaku. Pada salah satu tulisan penulis (baca di sini)  yang lalu di “K” sedikit telah menyorot  tentang hilangnya nilai-nilai afeksi dalam pembelajaran di sekolah. Sikap dan perilaku anak didik terabaikan di tengah pengejaran nilai-nilai akademis yang mengutamakan kecerdasan intelektual, intelligence quotient (IQ).

Boleh jadi, “kesengajaan” meninggalkan aspek sikap perilaku (ranah afeksi) ini disebabkan karena titik berat penekanan dalam kurikulum pendidikan juga dari awal di-setting sedemikian rupa agar anak didik pintar secara intelektual. Dalam logika ini, diharapkan dengan pintar secara intelektual (yang ditandai dengan nilai akademik yang baik, kemampuan beretorika yang mumpuni), maka dua aspek lain, sikap perilaku dan keterampilan (pasti) akan mengikuti. Sayangnya, teori ini tidak berjalan sempurna. Dalam banyak kasus, kecerdasan intelektual (IQ) kadang berbanding terbalik dengan performa sikap perilaku, budi pekerti, dan moralitas personal maupun sosial. Kecerdasan yang dimiliki dengan kemampuan beretorika yang baik malah digunakan untuk melakukan hal-hal atau tindakan yang merugikan, untuk kerugian secara pribadi maupun kerugian berdampak sosial.

Rupanya “kesengajaan” mengabaikan aspek sikap perilaku, budi pekerti, dan nilai-nilai moralitas pada ranah afeksi, bukan merupakan satu-satunya faktor determinan salahnya  sistem pendidikan kita (Indonesia). Dalam kesempatan menghadap Wapres ketika dipanggil sehubungan dengan aksi-aksi kekerasan yang melibat anak usia sekolah (ABG), kemarin, Senin (2/3/2015), Anies Baswedan, sang Mendikdasmenbud, menjelaskan bahwa menurut  JK, pendidikan itu meliputi tiga aspek, yaitu aspek sekolah, keluarga, dan lingkungan (baca: masyarakat). Lebih lanjut  Mendikdasmenbud, menjelaskan bahwa pendidikan bukan hanya diterapkan melalui sekolah. Ada dua aspek lainnya yang juga masuk dalam sistem pendidikan, yakni aspek keluarga dan aspek lingkungan. Karena itu, ketiga aspek ini harus mendapat perhatian yang sama untuk bersama-sama diperbaiki dan disempurnakan.

Benarlah apa yang dilontarkan sang Menteri. Bahwa pendidikan itu tidak hanya semata-mata urusan sekolah (guru dan tenaga pendidikan), tetapi juga menjadi kepentingan semua stakeholder, ya keluarga, ya lingkungan (masyarakat). Pada batas-batas tertentu, kedua unsur ini memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pendidikan, sehingga dapat menghasilkan dan melahirkan manusia-manusia yang paripurna (insan kamil). Jika ketiga elemen atau aspek ini memiliki visi dan misi yang sama untuk pendidikan yang lebih baik, mestinya bergerak bersama, menciptakan insan-insan yang memiliki kemampuan dan kompetensi secara intelektual (IQ), emosional (EQ), dan juga spiritual (SQ).

Sudah banyak penelitian yang menyebutkan keterkaitan-hubungan antara pendidikan di sekolah, keluarga, dan lingkungan. Ketiganya sangat berperan dalam memberikan warna hasil atau luaran pendidikan. Akan tetapi, dalam prakteknya, kadang ketiga-tiganya saling bertolak belakang. Keluarga di satu sisi mempercayakan anak-anaknya untuk dididik melalui jenjang pendidikan formal, yakni sekolah, tetapi kurang memberikan suporting yang memadai agar luaran dari sekolah sesuai dengan harapan. Keluarga merupakan peletak dasar nilai-nilai yang menjadi basis pembentukan karakter anak. Jika pada lingkungan keluarga salah menanamkan nila-nilai pendidikan melalui pola asuh yang salah, maka akan berpengaruh pada sistem pendidikan lanjutan, dalam hal pendidikan formal melalui sekolah. Begitu pula halnya dengan lingkungan (masyarakat), mempunyai ekpsektasi terhadap luaran pendidikan formal (sekolah) yang tinggi, tetapi pada sisi lain kurang memberikan “wadah” bagi aktualisasi diri. Sehingga, ketika kembali ke masyarakat terasa ada gap yang memisahkan antara das sollen (harapan) dan das sein (kenyataan). Pada titik inilah, terjadi “pemberontak” ala ABG, yang melampiaskan kekesalannya dengan melakukan tindakan kekerasan.

Peran Negara

Mestinya ekspresi kekerasan yang ditunjukkan oleh ABG melalui aksi begal motor maupun perampasan, serta tindakan-tindakan kriminal lainnya, tidak harus ditafsirkan sebagai “salah sistem pendidikan”. Apalagi kemudian hal itu kemudian direduksi semata-mata karena kegagalan pendidikan formal (sekolah). Padahal pendidikan formal (sekolah) hanyalah salah satu dari tiga sistem pendidikan, yang harus sama-sama diperhatikan dan dikembangkan. Jika keluarga dan lingkungan (masyarakat) hanya mempercayakan “baik buruknya” sikap perilaku anak semata-mata urusan sekolah, tanpa menyediakan ruang yang cukup memadai untuk setiap ekspresi personal dan sosial, maka di sinilah gap yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan tindakan melanggar hukum. Hendaknya ruang bagi proses aktualisasi dalam koridor dan rambu-rambu yang sesuai dengan norma-norma (sosial, hukum, dan agama) selalu tetap tersedia. Dan negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan itu, untuk memastikan setiap anak bangsa dapat berkembang secara optimal sesuai potensi dirinya.

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 03Maret 2015


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun