Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Manakah Tempat yang Pantas Melantik Pejabat?

31 Maret 2016   16:48 Diperbarui: 1 April 2016   13:51 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari beberapa tanggapan yang saya kutip di atas menggambarkan beragam tafsir terhadap layak tidaknya prosesi pelantikan sebuah jabatan publik atas alasan pemilihan tempat. Beragam tanggapan tersebut mencerminkan sudut pandang masing-masing pihak dalam menilai sebuah objek atau peristiwa.

Ada yang melihat semata-mata atas kelayakan sebuah tempat sehingga berpengaruh terhadap imeg seseorang apakah masih memiliki “harga diri” atau tidak. Dalam pandangan si penulis status fb, bahwa pemilihan tempat mencerminkan “watak” seseorang dalam menghargai sebuah profesi. Karena Walikota Dany Pomanto melantik Kepsek di TPA sampah, maka hal itu menunjukkan bahwa sang Walikota kurang menghargai profesi guru, apalagi mereka yang dilantik. Itu berarti bahwa Dany Pomanto telah melakukan “pelecehan” terhadp profesi guru. Jika demikian nalarnya, dapatkah disimpulkan bahwa orang yang merasa senang-senang saja, tidak mempersoalkan pemilihan tempat untuk acara pelantikannya, meski itu pada sebuah TPA sampah, tidak memiliki “harga diri”? Benarkah demikian?

***

Prosesi pelantikan pejabat publik dengan pemilihan tempat yang radah “aneh” tidak hanya baru kali ini terjadi seperti pelantikan Kepsek di Kota Makassar itu. Sebelumnya Walikota Makassar juga pernah melantik pejabat dengan mengambil setting di sebuah pelabuhan bongkar muat. Tapi, pada waktu itu tidak kedengaran nada-nada sumbang yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap pemilihan tempat pelabuhan itu.

Saya juga tidak tahu mengapa pelantikan Kepsek dengan latar TPA mejadi hal yang perlu diributkan. Mungkinkah TPA identik dengan tempat pembuangan kotoran, sehingga orang-orang yang ditunjuk untuk menggawangi sebuah institusi apalagi institusi bernama pendidikan dianggap sebagai hal yang tabuh? Apakah mereka berpikir bahwa pejabat yang dilantik di tempat yang tidak semestinya juga kemudian secara otomatis dianggap sebagai  bagian dari sesuatu yang harus “dibuang”? Tidakkah kita harus melihat sisi lebih dalam dari pemilihan tempat itu?

***


Bukankah tempat hanya sebagai sarana  atau media untuk membantu agar pelaksanaan sebuah kegiatan dapat berlangsung? Tidakkah kita mencoba lebih jauh meneropong makna filosofis yang dapat tarik untuk menjadi simbol menanamkan spririt perubahan mindset agar lebih menghargai kebersihan? Bukankah ada jargon yang menyebutkan bahwa kebersihan adalah pangkal kesehatan? Bukankah agama juga menganjurkan untuk senantiasa menjaga kebersihan, karena kebersihan dalam perspektif agama disebut sebagai bagian dari iman?

Karena itu, bagi saya pemilihan tempat untuk sebuah cara seremonial seperti pelantikan pejabat, tidak harus ditafsirkan terlalu sederhana dan hitam putih. Harusnya kita mencoba lebih jauh menelaah makna atau pesan tersirat yang ingin disampaikan melalui pemilihan tempat itu. Bahwa tempat yang kotor tidak otomatis identik dengan maksud dari sebuah kegiatan. Bahwa tempat yang menurut sebagian orang tidak layak, tidak otomatis sebagai sebuah kesengajaan untuk melecehkan sebuah profesi.

***

Pada ranah politik, sudah sering kita saksikan seorang Bupati, Walikota, atau mungkin Gubernur yang terpilih melalui proses demokrasi, pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan terpaksa harus di lantik dalam jeruji besi (penjara). Apakah pemilihan tempat di dalam penjara juga mencerminkan bahwa orang yang dilantik tersebut tidak memiliki “harga diri”? Mungkin ya bagi orang yang sedang menjalani hukuman pidana karena kasus korupsi, misalnya. Tapi, dalam realitas, malah kita melihat mereka yang dilantik di dalam jeruji besi itu tetap merasa bangga meski sedang terjerat kasus. Bagi mereka yang penting masih tetap dipercaya “rakyatnya” untuk memimpin sebuah daerah teritorial tertentu, lepas dari proses mendapatkan kepercayaan itu dengan cara yang benar-benar demokratis atau tidak.

Memang agak sedikit dipaksakan bila membandingkan seorang Buapti/Walikota yang dilantik di dalam penjara dengan mereka yang dilantik sebagai Kepsek di TPA sampah. Tapi setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa merupakan hal yang tidak perlu dipersoalkan, apalagi harus mengkaitkan dengan pelecehan profesi, bila hanya karena pemilihan tempat pelantikan yang kurang representatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun