Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Penulis Lepas pecanduan kopi

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Diary

"Rindu Ibu di Antara Gugur Daun dan Musim Panen"

12 April 2025   19:54 Diperbarui: 12 April 2025   19:54 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber; dok.pribadi 

Kisah ini dibagikan oleh seorang sahabat saya yang menerima surat dari ibunya.

Untuk anak-anakku Tersayang.

Dari balik jendela bambu yang telah dimakan usia  Ibu menulis surat ini dengan tinta dari mata sendiri. Di luar sana hujan turun pelan seperti doa-doa yang tak pernah ibu hentikan sejak kalian pergi  satu per satu meninggalkan kampung halaman yang kini hanya menjadi sunyi yang berdiam di dinding.   Anakku apa kabar tubuh dan jiwamu? apakah kalian masih sempat mendengar desir angin atau nyanyian hujan? Ataukah semuanya telah terganti oleh suara mesin, lampu kota, dan gedung yang tinggi tapi dingin? Di sini  aku dan ayahmu masih menyemai tanah meski tangan kami mulai bergetar dan punggung ini tak lagi sanggup berdiri lama. Kami bukan petani biasa  anakku. Kami penafsir waktu dan tanah bagi kami bukan hanya tempat menanam padi tapi tempat di mana kami titipkan harapan, kesetiaan, dan seluruh masa depan kalian. Kami menanam bukan sekadar untuk panen, tapi karena percaya pada hukum semesta  bahwa apa yang ditanam dengan tulus akan tumbuh dengan kejujuran. Maka dari itu jangan pernah kalian lupakan bahwa darah kalian berasal dari lumpur dan embun pagi dari keringat dua manusia renta yang tak sempat mengenyam bangku sekolah  tapi hafal betul bagaimana cara menjadi manusia. Anakku Ibu tak meminta kalian kembali dengan harta, dengan gelar, atau dengan gengsi. Ibu hanya ingin kalian tumbuh seperti pohon dan berakar kuat pada tanah asal, menjulang ke langit dengan rendah hati. Jangan biarkan kota mengikis nurani kalian. Dunia boleh berubah tapi nilai tidak. 

 Kami khawatir nak , Kami khawatir bukan karena kalian jauh, tapi karena dunia terlalu cepat dan manusia terlalu sering lupa. Kami khawatir kalian kehilangan arah. Bahwa kalian terlalu sibuk menjadi hebat  sampai lupa cara menjadi baik. Kalian terlalu keras bekerja untuk membahagiakan orang luar tapi lupa bahwa ada sepasang orang tua di kampung yang hanya ingin kabar sederhana, "Ibu, aku baik-baik saja." Hari ini ibu merasa tubuh ini mulai lelah. dan dafas ibu tidak lagi panjang seperti dulu. Kadang jantung berdetak seperti ingin berhenti sebentar untuk beristirahat dari rindu. tapi siapa yang akan mendengar keluh ibu? angin? Atau pohon pisang di belakang rumah?

  Ayahmu masih ke ladang Jalannya lambat, namun matanya tetap tajam. Ia tak banyak bicara  tapi sesekali ia bertanya, "Apa mereka akan pulang sebelum aku tak bisa lagi melihat?" Dan ibu hanya diam  karena tak ada kata yang cukup untuk menjawab pertanyaan yang mengandung luka sedalam itu. Anakku, Jika suatu hari nanti kalian merasa hilang  pulanglah. Bukan hanya ke rumah  tapi ke akar kalian. Ke nilai yang kami ajarkan tanpa suara bahwa hidup bukan untuk berlomba menjadi besar, tetapi untuk menjadi berguna. Bahwa bukan yang paling tinggi yang mulia, tetapi yang paling rendah hati yang paling dirindukan langit. Kelak ketika kami tak lagi bisa mengangkat cangkul, kami ingin kalian yang melanjutkan menanam. Bukan sekadar menanam padi, tapi menanam cinta, menanam etika, menanam kejujuran, dan menanam keberanian untuk hidup dalam kebaikan di tengah dunia yang suka berpura-pura. Ingatlah selalu nak bahwa Kota mungkin memberimu cahaya, tapi kampung memberikanmu cahaya hati. Jangan pernah gantikan satu dengan yang lain. Surat ini mungkin hanyalah suara dari kampung yang mulai dilupakan. Tapi percayalah tak ada tempat yang mencintaimu lebih jujur daripada tanah yang pernah menyambut kakimu pertama kali berjalan.

    Dari Ibu yang tubuhnya mulai ringkih tapi cintanya tak pernah retak. Yang menanam rindu di ladang, dan memanen doa setiap pagi.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun