Mohon tunggu...
Emanuel Hayon
Emanuel Hayon Mohon Tunggu... Editor - •Menulis adalah tanda berpikir

Kritis adalah cara kreatif untuk melatih keseimbangan otak kiri dan kanan•

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dosa Presidential Treshold 20%

23 April 2019   10:00 Diperbarui: 23 April 2019   10:07 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Politik Today

"Entah mengapa pemilihan presiden dan wakil presiden kali ini terasa berbeda. Pesta demokrasi tak dinikmati sesungguhnya - polarisasi terjadi - masyarakat terbelah."

Ekspresi kedua pendukung kemudian memanas usai hasil hitung cepat (quick count) yang diselenggarakan sore itu, Rabu (17/4). Di satu sisi pendukung 01 mengamini kemenangan Jokowi versi hitung cepat, tapi di sisi lain pendukung 02 merasa bahwa pemilihan presiden kali ini banyak kecurangan, salah satu diantaranya karena lembaga yang menyelenggarakan hitung cepat terafiliasi dengan partai pendukung 01.  Kubu 02  lebih mempercayai hasil real count berdasarkan formulir C1 di masing-masing TPS yang terkumpul.

Perdebatan panjang ini kemudian memecah di seluruh lini media sosial. Dua kubu saling mempertahankan masing- masing calonnya. Gesekkan terjadi - kemudian situasi memanas itu terjadi hingga saat ini. Bahkan polarisasi meluas sampai ke ruang diskusi masyarakat umumnya.

Polarisasi seperti ini sebenarnya telah terjadi sejak pemilihan presiden 2014. Lihat saja, usai pilpres tersebut polarisasi semakin melebar. Tak ada ruang komunikasi yang bisa mempersatukan, malah muncul polarisasi semakin nyata dengan sebutan atas kedua kubu yakni "cebong dan kampret".

Penulis menganggap bahwa ini merupakan salah satu hal yang krusial dalam kehidupan sosial. Jika ini dibiarkan terus berlangsung bisa saja gesekkan akan berlangsung lebih kental dan polarisasi tersebut terbawa pada gesekkan hidup sosial dalam lima tahun mendatang.

Salah satu persoalan yang bisa dianggap menjadi pemicu adanya polarisasi akibat pemilihan presiden ini adalah  ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden atau wakil presiden yang lazim dikenal dengan presidential treshold (PT) 20%. 

Kehadiran PT 20% disetujui oleh anggota dewan  terhormat pada medio 2017, dimana tertuang dalam pasal 222  UU No.7/2017 tentang pemilihan umum. PT 20% ini kemudian menjadi alasan besar sehingga calon peserta pilpres terbatas. Bahkan sejak pilpres 2014 dan 2019 pasangan calon yang dimunculkan hanya dua.

Terbatasnya calon dalam kontestasi pilpres mendorong polarisasi dalam masyarakat semakin melebar. Kita perlu belajar dari peristiwa pilpres langsung 2004 dan 2009 yang memberi banyak pasangan calon. Kehadiran banyak pasangan calon membuat masyarakat semakin banyak pilihan dan tidak terkonsentrasi pada dua pasangan calon yang menciptakan polarisasi seperti saat ini.

Di sisi lain, imbas diputuskan PT 20% mendorong 12 pakar yang berasal dari berbagai macam latar belakang menginginkan agar ketentuan soal ambang batas menjadi 0% alias semua parpol bisa mengusung pasangan capres-cawapres, meski tidak punya kursi di DPR.

Salah satu penggugat, Hadar Nafis Gumay, mengakui bahwa aturan tersebut sudah pernah digugat sebelumnya dan ditolak oleh MK.

"Pasal 222 UU 7/2017 dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut hanya mengatur soal syarat, bukan mengatur mengenai tata cara yang diamanatkan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945," tutur Hadar saat itu.

Beberapa kalangan aktivis juga kemudian mewanti-wanti kemungkinan terburuk jika PT 20% terus dijalankan pada pemilu 2019. Hasilnya memang seperti yang diprediksi. Bahkan polarisasi muncul lebih dalam dengan sikap saling menghina satu dengan yang lainnya.

Segera Revisi PT 20%

Terlepas dari perdebatan kedua kubu siapa yang memenangkan  kontestasi ini, penting bagi semua pihak untuk mendorong anggota dewan terhormat yang lolos nanti untuk merevisi ambang batas pemilihan presiden mendatang dari 20% menjadi 5% atau jika memungkinkan menjadi 0%.

Dorongan ini dimaksudkan agar pada pilpres 2024 nanti kita akan mendapatkan banyak pilihan calon, sehingga perbedaan yang menyempit bisa dibatasi dengan banyaknya calon dan polarisasi semakin menghilang ke depan. Apalagi, pada edisi pilpres 2024 kita akan disodorkan oleh beberapa tokoh muda baru. Inilah kesempatan yang paling berharga mulai saat ini untuk mendorong agar revisi segera dihentikan.

Meski demikian ada tiga catatan penulis yang sangat penting dalam usaha mendorong revisi PT 20%. Pertama, anggota dewan terhormat penting menyadari bahwa dosa PT 20% ini menjadi awal polarisasi. Dengan demikian, dalam usaha revisi tersebut jangan ada kepentingan politik yang tersembunyi dalam usaha mewujudkannya. Jangan sampai karena suara mayoritas di parlamen menciptakan usaha untuk menggembosi usaha tersebut.

Kedua, kontrol sosial dari semua elemen masyarakat juga penting jika ada niatan untuk melakukan revisi. Kontrol sosial wajib dilakukan dan sangat penting karena ini merupakan kewajiban bersama dalam menjaga situasi sosial bermasyarakat Indonesia ke depan.

Ketiga, pemerintahan yang terpilih nanti juga harus mulai menyadari betapa sulitnya polarisasi yang terjadi belakangan ini. 

Pemerintah yang terpilih jangan terjebak dalam kepentingan politik. Bagi penulis, pemerintah juga wajib belajar dari dua kali pilpres yang mengisahkan banyak persoalan.

Pada akhirnya, semua bertanggung jawab untuk mendorong revisi PT 20%. Sudah seharusnya semua sadar bahwa untuk ukuran berdemokrasi di bangsa sebesar Indonesia tak bisa dibatasi calonnya. Semakin banyak calon presiden dan wakil presiden akan mempengaruhi keterlibatan masyarakat semakin bervariasi dan tidak menyisahkan polarisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun