Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tanpa NU, Masyumi Partai Odong-odong

14 November 2020   10:05 Diperbarui: 14 November 2020   10:06 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kadrun.id/2020/11/12/tanpa-nu-masyumi-partai-odong-odong/

Sontak, KH. Wahab Chasbullah bersama Kiai Idham Chalid dan beberapa kiai NU lainnya, berkumpul dan membuat pernyataan yang memutuskan bahwa PRRI-Permesta bughat atau memberontak pada pemerintahan yang sah. Dalam pernyataannya juga, Partai NU tidak mendukung PRRI. Pernyataan tersebut penting dilakukan sebelum PKI semakin memperburuk citra umat Islam secara keseluruhan.

Tidak lama setelah itu, Soekarno akhirnya membubarkan Masyumi. Tentu saja ini membuat PKI semakin menggebuk Masyumi dan merebut posisi penting, baik dalam posisi kemiliteran, maupun di parlemen yang ditinggalkan Masyumi. NU merasa kehilangan kawan koalisinya di parlemen. Kini PKI hanya berhadapan dengan NU. Mengingat PNI sangat lemah dalam menghadapi PKI.

Sebagaimana kelompok Islam lainnya, NU tetap menyuarakan aspirasi politiknya pada acuan ajaran Islam, mengingat 90% penduduk Indonesia yang beragama Islam. Namun, NU dalam keterikatannya pada ajaran Islam, kepiawaian politik NU mampu merumuskan atau mencari titik temu antara agama dengan lembaga kekuasaan paripurna yang dinamakan negara.

Seiring berjalannya waktu, pada Desember 1983, Presiden menegaskan perlunya Asas Tunggal bagi partai politik dan seluruh ormas Indonesia. Para kiai NU memutuskan ormas NU pertama kali untuk menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. Bahkan KH. As'ad Syamsul Arifin menegaskan bahwa bagi umat Islam Indonesia, hukumnya wajib untuk menerima Pancasila.

Pada muktamar NU ke-27 bertempat di Situbondo Jawa Timur pada tahun 1984, NU memutuskan untuk kembali ke Khittah tahun 1926. Hal ini menandakan bahwa NU tidak lagi terlibat dalam politik praktis, tetapi kembali pada jatidiri organisasi kemasyarakatan, yakni jam'iyyah ijtima'iyyah.

Para kiai mengajak seluruh umat Islam Indonesia untuk tidak ragu lagi mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para syuhada, dan membangun bangsa berdasarkan basis moralitas berdasarkan Pancasila yang telah diserap dari butir-butir Piagam Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad SAW saat menjadi kepala negara Madinah, yakni menjalin harmonisasi dan saling menghormati di antara umat Islam (ukhuwah Islamiyyah), persaudaraan sebangsa dan setanah air (ukhuwah wathaniyyah), dan persaudaraan sesama makhluk Tuhan yang dinamakan manusia (ukhuwah basyariyyah). Semua itu sudah termaktub dalam Pancasila sebagai bentuk final ideologi negara.

Hal ini membuktikan bahwa sejak zaman penjajahan sampai era pasca-Orde Baru, para kiai mampu mengikuti perkembangan zaman dengan tetap mengakar dalam tradisi dan tidak membuang identitas Sunni-nya. Ini membuktikan bahwa Islam tradisional dapat memainkan peranan kreatif dalam dunia modern (Martin van Bruinessen, 1994: 261). Sikap dan budaya NU yang selalu menghindari konflik, berakar pada budaya agraris bahwa konflik tidak akan pernah menguntungkan rakyat kecil dan hanya menguntungkan kaum feodal. Hal itu cukup menentukan perkembangan NU hingga hari ini masih tetap bertahan, dan justeru semakin mengakar kuat. Sedangkan Masyumi tanpa NU, semakin terjerembab dalam kubangan kesalahan; kejahatan; kemungkaran untuk memberontak pada negara, yang pada akhirnya dibubarkan secara tragis.

Masyumi yang telah terkubur lama dan mungkin sudah menjadi fosil-fosil, coba dibangkitkan kembali oleh beberapa elit politik dengan istilah Masyumi Reborn, dengan kembali pula peningkatan dalam bentuk sentimental keagamaan dan emosi masyarakat Muslim. Muhammadiyah dan NU lebih awal telah menyatakan bahwa kedua ormas terbesar itu tidak akan bergabung bersama Masyumi, meski dalam Undang-undang diperbolehkan sebagai bentuk hak warga negara untuk mendirikan partai. Selain itu, NU sudah tegas dalam Muktamar ke-27 Situbondo sebagaimana di atas, tidak akan terlibat dalam politik praktis.

Tanpa NU saja, Masyumi kelimpungan menghadapi PKI, dan bergabung bersama pemberontak yang pada akhirnya tewas secara mengenaskan. Bagaimana dengan Masyumi Reborn hari ini? Partai tanpa ideologi yang jelas, akan berat sekali untuk menjadi partai besar. Partai yang ada saja, telah mengalami begitu besar ketidakpercayaan masyarakat. Program partai, hanya menguntungkan individu feodal dan janji-janji manis.

Jadi sudah jelas, tujuan Masyumi Reborn pun sama dengan partai-partai lain yang baru lahir belakangan ini, hanya sekadar odong-odong yang jalan di tempat. Sementara NU terus melesat mengikuti arus sirkulasi zaman, sampai pada era revolusi industri yang terus berkembang. Namun, tetap berpegang teguh pada khittahnya yang fokus pada keumatan dan mengandung nilai-nilai substansial Islam. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun