Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tanpa NU, Masyumi Partai Odong-odong

14 November 2020   10:05 Diperbarui: 14 November 2020   10:06 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) memang bukan atas dasar politik kekuasaan, karena konsepsi mengenai negara-bangsa (nation-state) belumlah muncul saat itu. Akibat puritanisasi wahabisme di Hijaz Arab saat kepemimpinan otoritarian Raja Abdul Aziz bin Saud dalam bentuk ideologi---pemurnian agama, membid'ahkan amaliah, menghancurkan tempat-tempat yang dikeramatkan seperti makam Nabi dan sahabat---Komite Hijaz yang menjadi cikal bakal NU itu, berhasil mencegah Raja Saud membongkar tempat-tempat yang dikeramatkan.

Setelah terbentuknya NU sebagai sebuah wadah (Organisasi Masyarakat) yang diinisiasi oleh serangkaian jejaring ulama dari pelbagai pesantren di seluruh Indonesia, NU membangun kesadaran bersama menjadi sebuah gerakan perlawanan kultural, dalam rangka melawan kolonialisme sehingga lahirlah fatwa "perang suci" (holy war) oleh KH. Hasyim Asyari yang mendorong rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur terlibat dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Dinamika NU terus bergulir di setiap Forum Muktamar yang mendiskusikan banyak persoalan---sosial kemasyarakatan, pendidikan, hukum Islam, politik, dan seterusnya---hingga lahirnya Majelis Islam 'Ala Indonesia (MIAI) sebagai gerakan kebangsaan bersama NU, Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Di sini kemudian kesadaran politik kebangsaan lahir dari umat Islam Indonesia, pasca-runtuhnya imperium Ottoman yang berpusat di Turki yang dinasionalisasi oleh Kemal Attaturk pada tahun 1924.

Kiai Masdar F. Masudi dalam Membumikan Agama Keadilan (2020), menyebutkan masih atas Kerjasama dengan Muhammadiyah dan SI pada tahun 1943 NU membentuk organisasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), suatu wadah umat Islam untuk merespon lebih banyak persoalan-persoalan politik dalam negeri, khususnya dalam mendorong lahirnya Negara Republik Indonesia. Awalnya organisasi penyatuan umat Islam ini dibentuk untuk memperkuat Dai Nippon demi kepentingan Asia Timur Raya. Tapi pada akhirnya, pada tahun 1952 NU keluar dari persekutuan dan koalisinya dari Masyumi.

Setelah NU hanya diposisikan sebagai Majelis Syuro, berbagai posisi penting NU dipreteli, baik dalam tubuh organisasi, maupun posisi-posisi strategis di parlemen pemerintahan. NU hanya mengurus Diniyah Syariah. Menyimpangnya Masyumi dari kebijakan politik NU---tidak tegasnya penanganan masalah domestik seperti pemberontakan DI/TII---demi berlangsungnya pembentukan sebuah negara yang damai.

Belum lagi soal kebijakan luar negeri yang berbelok saat Perdana Menteri Soekiman (Masyumi), kolaborasi bersama Achmad Soebardjo, menandatangani perjanjian Pakta Keamanan Bersama dengan Amerika Serikat yang berarti menempatkan Indonesia dalam blok AS. Hal itu telah menodai netralitas politik bebas aktif atau negara non-blok yang ditempuh Indonesia dalam percaturan politik global.

Bahkan, KH. Wahid Hasyim dalam catatannya pada tahun 1952 menyebut perkembangan NU dalam Masyumi sudah tidak sehat, NU kerap diejek gajah bengkak yang menderita beri-beri. (Historia.id, 2017). NU memang ditempatkan dalam posisi penasehat dalam Masyumi, namun konsultasi nasihat yang diberikan tidak pernah dipatuhi. Walau NU terlibat dalam berdirinya Masyumi, bagi NU sudah tidak ada alasan lagi untuk segera keluar barisan. Muktamar NU ke-18 pada Mei 1950 di Jakarta, KH. Wahab Chasbullah mendesak agar NU segera menarik diri dari Masyumi.

Pada Muktamar NU di Palembang bulan Oktober 1952, memutuskan secara resmi bahwa NU berdiri sebagai partai independen. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) juga berdiri kembali sehingga Masyumi bukanlah satu-satunya partai Islam. Dalam forum-forum dan kongres Masyumi, NU selalu mengusulkan agar Masyumi berubah jadi badan federasi, tetapi usulan NU selalu dimentahkan dan cenderung diabaikan.

Pada akhirnya, politik NU memutuskan untuk merapat bergabung dalam DPR-GR dan NASAKOM (Nasional diwakili PNI, agama diwakili NU, dan Komunis diwakili PKI) yang pada saat itu cenderung berjalan sendiri-sendiri. Tujuan NU salah satunya adalah membentengi pemerintahan agar tidak didominasi oleh sayap kiri Komunis. PKI yang kerap berhadapan dengan Masyumi, kini harus menghadapi pula perlawanan dari NU. Kepiawaian NU mampu menjadi tandingan yang cukup sengit dalam tindakan subversif PKI.

Bulan Mei 1952, para kiai NU seluruh Indonesia berkumpul di Cipanas Bogor, Jawa Barat dalam Konferensi Alim Ulama untuk membahas status Soekarno dan kabinetnya dalam kacamata Islam. Hasil musyawarah menyatakan bahwa Soekarno adalah Waliy al-amr adh-dharuri bi as-syaukah (presiden yang sah dalam keadaan darurat yang secara de facto memiliki kekuasaan).

Kemudian pada Februari 1958, KH. Wahab Chasbullah terkejut mendengar kabar kalau Masyumi saat itu tengah berkomplot dengan pemberontak---Dewan Banteng dan Dewan Gajah---yang memproklamirkan diri sebagai Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sejumlah catatan sejarah mengatakan bahwa hanya tokoh-tokohnya saja, bukan partainya. NU yang turut mendirikan Masyumi sekaligus sempat menjadi bagiannya, merasa kecewa yang teramat berat atas keputusan Masyumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun