Mohon tunggu...
L Prima Pandu Pertiwi
L Prima Pandu Pertiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

love to see the brighter side.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Luka Batin: Akar Permasalahan Kekerasan di Sekolah

13 Januari 2024   23:59 Diperbarui: 14 Januari 2024   21:44 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mari mengucap syukur bagi siapapun yang berhasil melewati masa sekolah dengan baik dan mampu mengenangnya sebagai memori indah. Beruntung bagi mereka yang berhasil melewati masa-masa tersebut dengan tanpa hal yang menyakitkan. Saya sendiri kerap mengucap syukur apabila tanpa sengaja teringat akan masa-masa sekolah. Bahkan sempat berucap dari bibir saya ingin mengulang ke beberapa tahun tertentu masa itu. Masa muda yang kini hanya bisa dikenang dan kadang saya impikan dapat terulang. Namun, sayangnya bagi sebagian orang, masa sekolah bisa jadi merupakan kenangan yang kurang indah. Bahkan bisa menjadi pengalaman buruk yang kalau bisa tidak perlu diingat, apalagi diulang.

Beberapa tahun terakhir ini, banyak sekali muncul berita buruk mengenai degradasi kualitas lingkungan di sekolah. Sekolah yang alih-alih menjadi tempat teraman, nyaman, dan penuh dengan keceriaan malah menjadi medan perang tempat siswa harus berupaya bertahan hidup. Berlebihan? Kenyataannya tidak. Sudah lebih dari cukup korban-korban kekerasan fisik, mental, dan psikologis yang harus dialami oleh siswa. Terlebih lagi, kekerasan yang dialami itu asalnya dari teman-temannya sendiri. Kenyataan dunia pendidikan yang jauh dari mimpi Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara.

Mungkin tidak pernah terbayang di angan-angan Ki Hadjar Dewantara bahwa akan ada masa di mana bentuk ancaman di dunia pendidikan berasal dari antar siswa-siswa sendiri. Kekerasan antar pelajar ini bukan hanya merugikan secara langsung bagi pelajar yang mengalaminya, tetapi juga berdampak mendalam terhadap iklim sekolah secara keseluruhan. Jelas sangat menyimpang dari pemikiran pokok Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memerdekakan. Pemikiran yang mendukung kemajuan pendidikan Indonesia dengan menekankan kebebasan, kemandirian, serta pengembangan potensi individu tidak akan terwujud dengan mudah di zaman perkembangan ini.

Salah satu gagasan Ki Hadjar Dewantara yang jelas belum terwujud adalah pendidikan yang memerdekaan batin. Selain pendidikan yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan akademis, pendidikan seharusnya membantu individu dalam mengembangkan kepribadian dan karakter, dan bukannya mencabik-cabiknya. Kekerasan antar murid, bahkan ada juga kekerasan yang ditujukan dari siswa kepada gurunya. Lingkungan sekolah yang harusnya terasa aman, malah menjadi tempat paling tidak aman bagi seluruh guru. Kekerasan di lingkungan sekolah bisa macam-macam bentuknya. Beberapa waktu lalu, kekerasan terjadi di sekolah di daerah Kulonprogo, seorang murid menyakiti guru karena cintanya tidak diterima, menjadi contoh bahwa kekerasan tidak hanya terjadi antar pelajar, atau guru terhadap muridnya, namun bisa juga terjadi pada guru.

Banyak faktor yang menjadi penyebab kerusakan pada mental pelaku kekerasan di sekolah. Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi mental siswa berasal dari pengaruh keluarga dan sosio-kultural. Keluarga yang tidak utuh, kurangnya kasih sayang dan dukungan dari keluarga, dan pengaruh budaya tertentu yang kurang baik di lingkungan rumah, kerap menjadi penyebab awal mengapa siswa mengenal kekerasan sebagai bagian dari menyelesaikan masalah di kehidupan. Konsep sistem among pendidikan yang digaungkan Ki Hadjar Dewantara sulit diimplementasikan dalam kehidupan sekolah apabila kemerdekaan batin dan rohaniah peserta didik terusik. Salah satu fokus Sistem Among juga tidak akan tercapai apabila Pendidikan Karakter siswa tidak terbentuk.

Kondisi budaya dalam suatu ekosistem belajar menjadi pengaruh besar mengapa bagi beberapa lingkungan sekolah akan sulit terbebas dari kekerasan. Apabila nilai budaya di lingkungan rumah berkaitan erat dengan kekerasan, maka penanaman karakter ini sudah terbentuk dari sana. Kita dapat melihat contoh pada beberapa daerah di Jawa Timur yang pada dasarnya memiliki kecenderungan berbicara sedikit lebih keras dan kasar dibandingkan daerah lain, karakter siswapun mengikuti. Keberagaman inilah yang kemudian mempengaruhi karakter siswa. Keberagaman manusia Indonesia yang menjadi identitas diri ini seharusnya menjadi sebuah nilai kebanggaan dan bukannya menjadi salah satu faktor terjadinya kekerasan di lingkungan dalam maupun luar sekolah, karena setiap manusia berhak mendapat rasa aman.

Bagi orang dewasa, saatnya bagi kita untuk merenung mengenai akar permasalahan ini, memahami berbagai bentuk kekerasan yang bisa jadi mungkin terjadi, dan mendorong perubahan budaya di lingkungan sekolah agar menjadi lingkungan yang aman dan memfasilitasi pemikiran mulia Ki Hadjar Dewantara, yaitu mengenai pendidikan yang memerdekakan peserta didik. Semoga peran kita sebagai manusia dewasa bisa perlahan terwujud, setidaknya dengan tidak menjadi salah satu pengaruh bagi rusaknya mental pembelajar yang mengenalkan kekerasan sebagai bagian dari kehidupan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun