Mohon tunggu...
Latatu Nandemar
Latatu Nandemar Mohon Tunggu... Relawan - lahir di Pandeglang Banten

Lahir di Pandeglang, Banten. seorang introvert yang bisa menjadi extrovert ketika situasi mengharuskan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meski Sedikit Berbahaya, Saya Rasa Lato-lato dan Permainan Tradisional lainnya Masih Lebih Baik daripada Game Online

2 Februari 2023   11:02 Diperbarui: 2 Februari 2023   11:05 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lato-lato, sebuah alat permainan tradisional yang saat ini sedang viral. Terdiri dari dua buah bola kecil dari bahan keras yang disambungkan dengan seutas tali.

Cara memainkannya adalah dengan menempatkan jari kita di tengah tali penyambung dan kemudian membenturkan dua bola keras tersebut dengan cara diayun-ayunkan terlebih dahulu sehingga menghasilkan suara berisik yang khas ketika alat permainan ini sukses dimainkan.

Dan ternyata tidak hanya anak-anak yang menggemarinya, banyak juga orang dewasa yang turut memainkan alat permainan yang menurut info di sebuah acara TV, dahulunya lato-lato adalah sebuah senjata, bukan alat permainan.

Bahkan seorang anggota polisi yang menggemari lato-lato ada yang dikenai sanksi ringan karena membuat video tutorial cara memainkan lato-lato ini. Entah apa alasan sang atasan mengapa membuat video tutorial permainan ini harus dikenai sanksi?

Kehadiran permainan ini disambut cukup baik oleh berbagai kalangan, terutama orang tua yang ingin anak-anak mereka tidak terus-terusan berada di depan gadget. Ya, permainan ini dianggap bisa membuat anak-anak teralihkan dari ketergantungan mereka terhadap teknologi yang bisa berakibat buruk untuk anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.

Tetapi, seiring waktu, media-media di TV mulai memunculkan pemberitaan yang mengarah pada dampak negatif permainan ini. Informasi tentang seorang anak yang tangannya bengkak karena berbenturan dengan bola keras tersebut. Kemudian ada lagi berita tentang kepala seorang anak yang benjol besar karena tali pengikat bola kerasnya terlepas pada saat bermain dengan alat ini. Dan lain sebagainya.

Pemberitaan-pemberitaan ini tentu saja akan menggiring opini para orang tua. Dengan menggunakan kata "menimbulkan korban" pada cedera-cedera pelaku permainan ini, tentu akan membuat permainan ini dianggap berbahaya level tinggi oleh para orang tua. Sehingga nantinya mereka akan berpikir ulang untuk mengizinkan anak mereka memainkan permainan ini.

Tetapi, bukankah karakteristik permainan tradisional memang begitu, selalu melibatkan fisik dan pikiran sehingga menuntut fisik dan juga pikiran untuk berkembang agar bisa menyelesaikan permainan dan berhasil keluar menjadi pemenang.

Kita lihat saja salah satu contoh pada permainan tradisional yang lain, permainan egrang misalnya. Permainan ini adalah permainan dengan menggunakan bambu yang dibuat sedemikian rupa agar bisa dipijak oleh sepasang kaki, kemudian kita dituntut untuk bisa berdiri dan berjalan bahkan berlari dengan seimbang dengan bertumpu pada pijakan tersebut. Itu sangat membutuhkan kemampuan untuk menyeimbangkan.

Satu contoh lagi ada yang namanya gobak sodor. Sebuah permainan yang dimainkan secara berkelompok tanpa menggunakan alat apapun. Tetapi, meski tanpa alat, permainan ini menuntut anak-anak kita menjadi lincah, tangkas dan kuat seperti slogan pada sebuah iklan susu anak. Pada permainan ini satu kelompok harus bisa lolos dari sergapan kelompok lain untuk bisa memasuki wilayah yang dijaga tersebut.

Dua contoh permainan tadi memiliki karakteristik sama, yaitu menuntut para pemainnya agar bisa tangkas, kuat, berani dan mampu menciptakan strategi-strategi tertentu untuk bisa mengalahkan lawannya. Tentu saja itu akan menuntut untuk memeras fisik dan otak para pemain. Dan jangan lupa, mereka juga akan belajar untuk bisa bekerjasama dalam sebuah tim karena harus memainkan secara kelompok tadi.

Benturan-benturan fisik memang biasa selalu terjadi pada setiap permainan tradisional. Jatuh, lecet, bengkak dan lain sebagainya adalah risiko-risiko yang memang tidak bisa dihindari. Tetapi justru dari hal itu setiap anak bisa belajar tentang risiko dan bagaimana mengantisipasinya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Hal-hal seperti ini seharusnya dikenalkan pada anak-anak sebagai bekal kekuatan mental mereka.

Sama halnya dengan belajar sepeda. Kita pasti akan merasakan jatuh, terluka, lecet, bengkak, menangis dan lain sebagainya. Tapi setelah kita berhasil melewati masa itu, kita akan bisa menggunakan sepeda dengan terampil tanpa takut terjatuh dan terluka lagi.

Tetapi bukan berarti kita juga harus lepas tangan dengan risiko-risiko itu. Kita bisa mendampingi dan memberi arahan kepada mereka bagaimana cara bermain yang aman. Kita juga bisa memastikan terlebih dahulu sebelum benda tersebut dimainkan, apakah sudah terikat dengan baik atau belum terikat dengan kuat. Dengan begitu bahaya lebih besar yang ditimbulkan bisa terhindarkan.

Sepanjang risiko cedera yang didapat tidak menimbulkan bahaya permanen, saya lebih memilih memberikan permainan tradisional daripada menyodorkan mereka pada gadget yang membuat anak jadi lebih banyak aktif di dunia maya daripada dunia nyata. Kemampuan mereka dalam melakukan interaksi sosial bisa terasah dengan baik jika mereka melakukan permainan tradisional.

Gadget lebih rentan membuat candu terhadap penggunanya. Game online misalnya. Sudah banyak kasus-kasus terjadi pada anak di bawah umur akibat game online. Mencuri uang untuk bisa bermain game di warnet, atau kerusakan saraf yang membuat fungsi tubuh tidak bekerja dengan semestinya karena terlalu banyak menghabiskan waktu di depan layar gadget tersebut.

Bagi saya, efek yang diakibatkan oleh permainan yang menuntut fisik pada permainan tradisional masih lebih baik daripada efek yang diakibatkan oleh game online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun