Mohon tunggu...
Ellya Sulistiyani
Ellya Sulistiyani Mohon Tunggu... PNS -

hanya ingin menjelajah setiap sudut bumi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengapa Transaksi Tunai Perlu Dibatasi?

31 Desember 2014   17:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:06 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uang tunai menjadi favorit bagi para pelaku kejahatan khususnya pelaku suap dan korupsi di negeri ini. Uang tunai dalam denominasi mata uang asing khususnya Dolar Amerika dan Dolar Singapura, apalagi yang memiliki nominal besar menjadi pilihan para penjahat kerah putih tersebut. Berdasarkan Hasil Analisis dan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi tunai ternyata memang menjadi alternatif utama untuk menghindari sistem keuangan. Artinya, dengan menggunakan uang tunai, maka rekening para pelaku akan terlihat bersih, wajar dan tidak mencurigakan.

Kepala PPATK Muhammad Yusuf mencontohkan kasus suap terbaru di Indonesia yaitu kasus Fuad Amin (Ketua DPRD Bangkalan). Ybs memiliki 25 rekening dengan transaksi berupa setor tunai. “Ketika KPK menggeledah rumah Fuad Amin, terdapat banyak sekali uang (di rumahnya). Karena itu PPATK ingin pembatasan uang tunai,” harap Kepala PPATK.

Ia optimistis, jika pembatasan uang tunai ini diberlakukan, maka minimal 70 persen korupsi di Indonesia akan berkurang. Karena menurutnya, korupsi itu biasanya dilakukan dengan cara cash. Jadi, ujung-ujungnya duit.

Salah satu kasus menonjol lain terkait penggunakan uang tunai yaitu kasus Gayus Tambunan. Gayus diketahui memiliki dana tunai dalam jumlah yang sangat besar dan tidak sesuai dengan profilnya sebagai PNS Golongan III/a. Uang tunai itu diperoleh Gayus dari wajib pajak dan lantas digunakan untuk membeli asset. Untuk menyembunyikan dari sistem perbankan, Gayus memasukkan uang haram tersebut ke dalam Safe Deposit Box (SDB). Salah satu SDB yang berhasil dibongkar oleh aparat penegak hukum berisi uang tunai dalam mata uang asing senilai setara dengan Rp75 miliar. Jumlah uang uang sungguh luar biasa untuk PNS golongan III/a bukan?

Kasus lain yaitu kasus Labora Sitorus (LS). PPATK menemukan lebih dari 1.000 kali transaksi penarikan maupun penyetoran dana tunai oleh LS ataupun pihak terkait lainnya untuk kepentingan LS. Total dana yang ditransaksikan secara tunai pada periode pemeriksaan diketahui berjumlah lebih dari Rp1 triliun.

Pada kasus lainnya yang saat ini sedang ditangani oleh penegak hukum terkait dengan oknum PNS Pemda diketahui bahwa yang bersangkutan melakukan transaksi pembawaan uang tunai dari Singapura ke Batam untuk selanjutnya disetorkan kepada bank. Nilai transaksi tunai berkisar antara Rp1 juta s.d. Rp13 miliar untuk satu kali sekali transaksi. Yang bersangkutan diketahui melakukan sebanyak 877 kali transaksi keuangan tunai selama tahun 2008-2013.

Terkait hal tersebut, PPATK telah menyusun draft awal Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pembatasan Penggunaan Transaksi Uang Kartal dan mendorong Kementerian Hukum dan HAM untuk menyusun dan membahas Naskah Akademik dari RUU tersebut. Penyusunan draft tersebut telah selesai pada bulan Februari 2014.

Pada draft awal tersebut, PPATK mengusulkan untuk membatasi penggunaan uang kartal oleh setiap orang (perorangan dan korporasi) sebesar Rp100 juta yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal transaksi setiap orang dengan penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan/atau jasa lain dilakukan dalam jumlah Rp100 juta atau lebih, atau yang nilainya setara, yang dilakukan dalam satu kali transaksi keuangan tunai dalam satu hari kerja yang dilakukan di wilayah Indonesia wajib melalui mekanisme pembayaran secara non tunai.

Upaya PPATK untuk mengegolkan regulasi pembatasan penggunaan uang tunai tak berhenti sampai di sana. PPATK juga mendorong Bank Sentral Singapura membatasi peredaran uang 10 ribu Dolar Singapura.

Pada pertemuan antara PPATK dengan STRO selaku FIU (atau PPATK-nya Singapura), Kepala PPATK menyampaikan berbagai alasan mengapa uang pecahan 10.000 Dolar Singapura seharusnya tidak lagi diterbitkan. Selama ini, terjadi penyalahgunaan fungsi uang bernomimal besar tersebut.Uang pecahan 10 ribu Dolar Singapura belakangan ini menjadi favorit para pelaku suap di Indonesia. Selain itu, PPATK menilai penggunaan uang pecahan ini tidak logis dan sulit digunakan dalam keperluan transaksi sehari-hari.

Uang dengan nilai setara Rp94 juta ini rentan digunakan sebagai sarana penyuapan atau gratifikasi seperti yang terjadi pada kasus Gayus Halomoan Tambunan dan kasus oknum hakim Syarifuddin. Pecahan uang ini digunakan sebagai alat suap untuk mengakali agar rekening yang bersangkutan tidak terlacak oleh PPATK. Atas dasar itulah, PPATK mendorong otoritas bank sentral di Singapura untuk tidak lagi menerbitkan uang pecahan dengan denominasi 10.000 Dolar Singapura. Hal ini dilakukan demi meminimalisir tindak kejahatan dengan menggunakan transaksi tunai.

Upaya yang dilakukan PPATK membuahkan hasil dengan dikeluarkannya MAS NOTICE 763 oleh Pemerintah Singapura (Monetary Authority of Singapore) tertanggal 30 September 2014 tentang Larangan Peredaran Mata Uang S$ 10.000,-. MAS NOTICE 763 pada pokoknya memuat, “Any bank that has possession or comes into possession on any currency note of a denomination of 10.000 Singapore dollars shall not recirculate the note”. Saat ini, uang 10.000 Dolar Singapura hanya boleh beredar antar bank saja. Semoga ini menjadi langkah awal untuk menghentikan aksi kejahatan kerah putih.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun