Kompasiana, Jakarta  - Di tengah dominasi layar sentuh dan budaya konten singkat, sekelompok anak muda memilih untuk diam dalam gelap, menyimak suara seorang perempuan dari masa lalu. Sabtu sore itu, Galeri Indonesia Kaya dipenuhi gelombang generasi muda yang tak sekadar menonton, tapi larut dalam pertunjukan teater monolog "Aku yang Tak Kehilangan Suara."
Disutradarai Wawan Setiawan dan diproduksi oleh Regina Art, pertunjukan ini bukan hanya sebuah karya panggung. Ia adalah pernyataan politik budaya---sebuah upaya menggali ulang suara perempuan yang kerap dikubur dalam lembar sejarah.
Dan lebih dari itu, ia adalah bentuk pertemuan lintas generasi: antara suara Siti Walidah pendiri Aisyiyah dari awal abad ke-20 dengan kesadaran Gen Z abad ke-21.
Regina Art: Menyulut Dialog dari Panggung yang Hening
Didirikan oleh Joane Win, Regina Art bukan sekadar komunitas seni. Ia menjelma menjadi laboratorium gagasan, tempat narasi-narasi terpinggirkan diberi ruang untuk bernapas kembali.Â
Bagi Joane dan timnya, panggung bukan hanya tempat bermain peran, melainkan alat refleksi kolektif. Pertunjukan ini adalah salah satu dari rangkaian karya yang mereka angkat, berfokus pada isu-isu perempuan, sejarah, dan keadilan sosial.
"Kami melihat begitu banyak tokoh perempuan yang hilang dalam narasi sejarah resmi. Siti Walidah adalah simbol dari kekuatan yang dibungkam. Tapi suara seperti dia harus terus disuarakan apalagi di hadapan generasi muda," ujar Joane produser pertunjukan.
Dengan pendekatan minimalis satu aktor, minim properti, nyaris tanpa distraksi visual panggung justru menjadi ruang sunyi yang memantulkan gema paling dalam. Tika Bravani, yang memerankan Siti Walidah, tampil dengan tubuh yang membawa sejarah. Ia bukan sedang bermain peran. Ia sedang menghidupkan kembali apa yang pernah dibisukan.
Gen Z di Barisan Depan: Bukan Penonton Pasif, Tapi Penerus Narasi
Yang mengejutkan, justru datang dari barisan penonton. Generasi yang kerap dicap apatis, justru hadir dengan rasa ingin tahu yang besar. Pertunjukan pukul 15.00 dan 19.00 WIB Â sebagian besar diisi anak-anak muda, mahasiswa, pegiat komunitas, hingga content creator yang memilih menyelami sejarah melalui seni panggung, bukan hanya Google Search.