Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern saat ini, banyak orang meyakini bahwa kita telah benar-benar bebas dari cengkeraman kolonialisme. Namun kenyataannya, sisa-sisa kolonial masih bertahan, melekat pada cara kita berpikir, berbicara, hingga pola konsumsi sehari-hari. Globalisasi yang sering dipuji sebagai tanda kemajuan justru kerap berfungsi sebagai saluran baru bagi kolonialisme dalam bentuk yang lebih halus: bukan lagi dengan senjata, melainkan dengan dominasi ide, citra, dan gaya hidup. Inilah yang sering disebut para teoritisi sebagai “neo-kolonialisme,” yaitu ketika penguasaan tidak lagi hadir secara militer, tetapi melalui struktur ekonomi, budaya, dan pengetahuan.Dominasi budaya Barat serta keterikatan pada ekonomi global menunjukkan bahwa penjajahan belum sepenuhnya berakhir; ia hanya berganti rupa. Misalnya, standar kecantikan yang memuja kulit putih di Indonesia dan Asia Tenggara bukanlah sekadar tren kosmetik, melainkan warisan kolonial yang mengajarkan bahwa “putih” identik dengan status sosial lebih tinggi. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana estetika kolonial masih beroperasi di tubuh bangsa merdeka. Frantz Fanon menulis dalam Black Skin, White Masks (1952): “To speak a language is to take on a world, a culture.” Kutipan ini menegaskan bahwa kolonialisme merasuk hingga pada bahasa dan tubuh; orang terjajah sering kali berusaha meniru penjajah untuk memperoleh pengakuan. Karena itu, dekolonisasi sejati bukan hanya soal membebaskan wilayah, tetapi juga membebaskan kesadaran dari hierarki nilai yang diwariskan kolonialisme.
Warisan kolonial juga sangat kuat dalam cara bangsa bekas jajahan memandang dirinya sendiri. Selama berabad-abad, kolonialisme menempatkan Barat sebagai pusat peradaban, sementara masyarakat jajahan dianggap primitif. Pandangan ini masih bertahan hingga kini. Dalam sistem pendidikan, kurikulum sejarah sering kali menekankan tokoh dan peristiwa Eropa ketimbang Asia atau Afrika. Ilmu pengetahuan “modern” pun kerap dianggap sahih hanya jika bersumber dari universitas Barat, seolah-olah pengetahuan lokal tidak memiliki legitimasi. Edward Said, dalam Orientalism (1978), menegaskan: “The Orient was not (and is not) a free subject of thought or action. It was the creation of the West.” Artinya, Timur atau dunia non-Barat dikonstruksi sebagai objek, bukan subjek, sehingga narasi dominan tetap berpihak pada Barat.
Pengaruh kolonial juga hadir melalui budaya populer. Hollywood menguasai pasar film dunia, tidak hanya itu tapi tren musik, fastfood dan fashion sangat mendominasi di Asia. Fenomena ini menunjukkan bahwa arus budaya global cenderung satu arah: produk Barat atau budaya yang sudah terdigitalisasi dengan baik lebih mudah mendominasi. Akibatnya, karya seni lokal sering dianggap kurang modern, sementara bahasa Inggris dijadikan simbol status sosial. Iklan, produk, dan gaya hidup kelas menengah di kota besar kerap menggunakannya untuk menegaskan modernitas, sementara bahasa daerah dianggap tidak bergengsi. Gayatri Chakravorty Spivak, dalam esainya Can the Subaltern Speak? (1988), menulis: “The subaltern cannot speak.” Kutipan ini menunjukkan bahwa kelompok pinggiran kesulitan berbicara dengan suara sendiri karena wacana mereka selalu disaring, diputar, dan diterjemahkan ulang oleh struktur kekuasaan global.
Namun demikian, globalisasi tidak semata-mata harus dilihat sebagai ancaman. Tantangan utamanya adalah menyadari bahwa modernitas tidak pernah netral; ia sarat dengan kepentingan. Dalam isu lingkungan, misalnya, negara maju mendorong negara berkembang untuk menekan emisi karbon, tetapi tetap menjadi penghasil emisi terbesar lewat industrinya. Ironinya, beban transisi energi justru sering dipikul negara-negara berkembang. Jika kesadaran kritis tumbuh, bangsa-bangsa bekas jajahan dapat lebih selektif menyaring pengaruh luar, menggunakan globalisasi sebagai ruang dialog setara, bukan sekadar arus dominasi.
Karena itu, kemerdekaan sejati tidak berhenti pada kebebasan politik, tetapi juga pembebasan pikiran. Selama bangsa masih menormalisasi budaya asing tanpa kritis—lebih bangga dengan produk impor daripada produk lokal, atau merendahkan bahasa sendiri demi terlihat “modern”—selama itu pula kita masih dijajah tanpa sadar. Kesadaran post-kolonial menegaskan bahwa merdeka sejati adalah keberanian mendefinisikan diri sendiri. Modernitas tidak harus ditolak, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka identitas, sejarah, dan kepentingan bangsa. Tanpa kesadaran ini, bayang-bayang kolonialisme akan terus membentuk cara kita memandang dunia, dan perjuangan kemerdekaan sejati belumlah selesai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI