Mohon tunggu...
Eliyani
Eliyani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

\r\nhttp://elysta-simplewish.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Drama

Cinta Berbatas Kursi Roda

10 Agustus 2012   08:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:59 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Ketukan dipintu membuyarkan lamunan Nita. Segera ia menyeka airmatanya dengan tisu agar suaminya tidak tahu bahwa dia baru saja menangis.

“Sudah makan, Mas?” Nita menyambut suaminya yang tengah kesusahan meraih gagang pintu.

Rudi tersenyum. “ Tumben kamu pulang lebih awal, Nit?”

“Iya, Mas. Kalau tanggal-tanggal segini pekerjaan memang tidak terlalu banyak, jadi aku bisa pulang lebih awal.”

“Aku mau istirahat sebentar.” Kata Rudi

Tanpa diminta. Nita membantu suaminya menaiki ranjang.

Sebenarnya Rudi termasuk pria yang baik. Karena itu Nita memilih Rudi sebagai suaminya. Tahun- tahun pertama yang dilaluinya berjalan wajar malah serba berkecukupan. Rudi yang bekerja disalah satu instansi pemerintah sudah lebih dari cukup membiayai kehidupan rumah tangganya.

Tapi tahun-tahun berikutnya kesenangan memang tidak selalu berpihak, tragedy 11 juli itupun terjadi. Mobil yang ditumpangi Rudi mengalami kecelakaan. Nita shock melihat suaminya tersambung dengan selang infus. Dengan sabar ia menemani suaminya yang sedang koma. Beberapa lamanya Rudi berhenti bekerja. Tabungan yang sudah makin menipispun ia gunakan untuk pengobatan suaminya. Kembali sehat adalah harapan Nita untuk suaminya. Namun Tuhan berkehendak lain, Dr. Cipto mengatakan salah satu syaraf ditubuh Rudi mengalami kerusakan total. Mau tak mau ia harus berjalan dengan bantuan kursi roda.

Menangis adalah hal pertama yang dilakukan Nita saat itu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali bekerja sebagai salah satu staf diperusahaan swasta. Manajer diperusahaan itu kebetulan adalah teman lamanya yang bernama Desy.

“Aku tak habis pikir, mengapa kamu masih tetap bertahan dengan suamimu. Kamu masih muda, masih banyak harapan yang dapat kamu raih diluar sana.” Tutur Desy menyarankan.

Nita hanya menarik nafas berat.

**

Kesibukan Nita dikantornya benar-benar menyita waktu. tak heran belakangan tugas-tugas rumah tangganya ia limpahkan kepada Bi Diah, pembantunya. Dari mulai menyiapkan makan suaminya sampai keperluan mandinya.

“Obat dan susunya diminum ya, Mas.” Ujar Nita disela-sela sarapannya yang terburu-buru.

“Aku mungkin pulang malam, ada sedikit masalah dikantor. Bisa berabe kalau urusannya ditunda-tunda.”

“Apa sebaiknya ditunda dulu urusanmu. Akhir-akhir ini kamu jarang sekali nemenin aku makan dan ngobrol.” Satu teguran yang membuat Nita tersentak. Selama ini tak pernah mendengar suaminya mengeluh. Dirangkul suaminya dari belakang.

“Mas, aku kerja juga buat kita. ‘kan ada Bi Diah yang bantu aku ngurusin Mas.” Sahut Nita sambil mencium pipi suaminya.

Dalam. Rudi menarik nafasnya. Diakuinya ia membutuhkan perhatian istrinya, namun disisi lain ia sadari keterbatasannya sebagai suami yang jauh dari sempurna. Rudi memutar kursi rodanya keruang tengah. Disitulah ia habiskan waktu dengan nonton tv, baca Koran atau sekedar minum kopi buatan pembantunya.

21.30. Nita belum juga pulang. Sesekali Rudi arahkan pandangannya keluar dan jam dipojok ruangan secara bergantian.

23.15. nita belum pulng juga. Sementara Bi diah sudah dari jam Sembilan tadi berada dikamarnya.

Rudi hendak beranjak, namun dari halaman, lampu dari sebuah mobil mengurungkan niatnya. Digapainya tirai bercorak keemasan itu.

Nita? Pikirnya dalam hati. Tapi tak begitu jelas orang yang berada dibelakang stir. Lampu tamanpun terlalu redup untuk menembus kaca mobil.

Klik. Nita membuka pintu depan. Alangkah kagetnya saat mendapati suaminya belum tidur. Dia tekan perasaannya untuk menyembunyikan keterkejutannya.

“Mas Rudi belum tidur?” Rudi hanya menggeleng.

Dengan ragu Nita mendekat, “ Sebaiknya Mas tidur duluan. Nita mau mandi dulu ya.

“Aku belum mandi, Nit. Malam ini aku nunggu kamu yang menyiapkannya.”

“ Tidak perlu nunggu Nita kan Mas. Kan ada Bi Diah.” Rudi memalingkan mukanya. Matanya berkaca-kaca. Tak urung Nita melucuti pakaian Rudi. Nita paling tak tega melihat suaminya bersedih.

Dengan lap basah, diusapnya seluruh bagian tubuh suaminya. Sabar dan telaten. Nita tak menghiraukan letih dan penatnya setelah seharian ia bekerja. Dia lakukan semuanya atas dasar pengabdian dan cintanya.

Tak jarang rutinitas seperti itu diiringi dengan hasratnya sebagai wanita normal. Malam bergulir. Namun keduanya Nampak menghela nafas berat. Berat sekali sebelum akhirnya sama-sama terdiam. Nita menatap langit-langit kamar. Tatapannya kosong. Ada perih dihatinya. Dia menggigit bibirnya pelan. Getir.

“Maafkan aku, Nit. Aku tak bisa.” Suara Rudi parau. Dan kata-kata itulah yang selalu ia dengar setelah mereka mencobanya. Nita tersenyum hambar. Angannya untuk menjadi seorang ibu, harus ia tanggalkan perlahan.

Makin hari, karir Nita makin meningkat. Sedangkan kedekatannya dengan Joan, rekan bisnisnya itu sudah menjadi rahasia umum. Keterbukaannya pada Joan mengenai urusan rumah tangganya ternyata dimanfaatkan eksekutif muda yang beranak satu itu.

“Tapi mas Jo, status saya masih istrinya Rudi.” Suatu hari saat Joan mengajaknya menikah.

“Kamu bisa pakai kuasa hukum, tinggal sewa pengacara saja ‘kan? Gugatan ceraimu pasti dapat diloloskan, toh alasanmu sudah jelas.”

“Tak semudah itu, Mas Jo.” Sahut Nita

Nita coba berpikir keras. Hubungannya dengan Joan seorang yang simpatik, humoris dan perhatian itu sering menggelisahkannya. Malam itu adalah puncak perselingkuhannya. Keteguhannya telah terkoyak. Tiba-tiba Nita sangat membenci Joan. Satu tamparan keras dipipi Joan mengawali kerenggangan pertemuan mereka. Berkali Joan menghubungi Nita lewat ponselnya, namun tak pernah ada jawaban. Nita benar-benar menyesal. Namun nasi sudah menjadi bubur.

Dua bulan kemudian, dengan lesuNita lipat testpack digenggamannya. Langkahnya gontai. Bagaimana ia harus menjelaskan pada suaminya?

“Aku benar-benar bingung, Des.”

“Kamu tidak minta Joan untuk bertanggung jawab?”

“Sebelum aku mintapun, dia sudah menawarkan pengacara untuk mengurus perceraianku.”

“Lantas kamu tolak?” tebak Nita.

“Ini sulit, Des. Sulit bagi Rudi. Aku tak mungkin meninggalkannya. Kamu tahu sendiri keadaannya, dia sangat membutuhkan aku.”

“Lalu bagaimana dengan bayimu nanti? Bagaimana kalau Rudi mulai berpikir logis dan melakukan test DNA?” Pertanyaan-pertanyaan Desy makin menyudutkannya. Melemparkannya pada segudang jawaban yang gagal ia temukan jawabannya.

Perubahan Nita awalnya tak menimbulkan kecurigaan bagi Rudi.Nita bertambah baik dan perhatian. Usia kandungannya sudah beranjak tiga bulan, perubahan fisik dan hormonal dalam tubuhnya tak dapat disembunyikan.

“Kamu masuk angin kali, Nit.” Rudi memijit leher Nita pelan.

Nita mual-mual lagi. Kembali ia kekamar mandi. Rudi tak curiga sedikitpun

“Tolong ambil obat saya dilaci depan, Mas.” Pinta Nita pada suaminya

Tanpa berpikir panjang lagi, Rudi mencari obat yang dimaksudkan Nita. Laci kesatu, kedua, akhirnya dilaci ketiga dibawah sebuah buku diary. Nita lupa menyimpan diarynya disitu. Rudi sekilas membaca lembaran terakhir.

Damprat saja malam dan nafsu perempuan ini

Mengapa kau percikan bara maafmu

Aku t’lah rapuh, runtuh

“Mas Rudi tolong!”

Rudi meletakkan diary ditangannya dan segera menghampiri Nita. Didapatinya istrinya itu tengah duduk dilantai. Dari balik pakaiannya mengalir darah. Rudi kaget bukan main. Dia segera menelpon rumah sakit. Selang beberapa menit, Nita sudah berada dirumah sakit dengan pengawasan dokter.

“Bagaimana kondisi istri saya, Dok?” Tanya Rudi

“Silahkan duduk dulu. Kondisi istri anda dalam situasi yang sulit. Maaf dia baru saja mengalami keguguran. Rupanya istri anda sering mengalami goncangan psycologis.” Papar dokter setelah melakukan USG.

“Apa?” Rudi terkejut. Belumpun rasa kagetnya hilang, dokter itu mengatakan bahwa ada kanker dalam rahim Nita.

“Mas ampuni Nita, Nita khilaf.” Airmatanya deras.

Ada pedih didada Rudi.

Ternyata batas pengabdian Nita terlalu rapuh untuk bertahan, cinta terkadang kalah melawan kehampaan, komitmen terkadang goyah oleh hasrat, keharusan terkadang tak lagi jadi kepentingan. Tapi setidaknya dia masih punya hati untuk merasakan teguran Tuhan.

Lantas apakahRudi harus menghukum istrinya sekarang? Yang pernah membuatnya kokoh selama lima tahun terakhir? Satu tetes air mata menitik sejuk pada pipi Nita. Airmata yang ambigu. Sulit mengartikannya. Tapi lagi-lagi Tuhan tau cara paling tepat untuk mencintai.

***

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun