Mohon tunggu...
elita ratini
elita ratini Mohon Tunggu... Penulis - Hanya untuk berbagi informasi

Menulislah maka kamu akan hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Jauhi Kami Para Korban Pelecehan Seksual

9 Desember 2019   13:03 Diperbarui: 9 Desember 2019   13:39 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pelecehan seksual masih saja menjadi momok bagi kaum perempuan baik usia anak-anak, remaja, dewasa, bahkan usia dewasa akhir. Pelecehan seksual tak habis-habisnya menjadi topic pembicaraan disemua media social karena sebab terjadinya bukan hanya karena suatu kelainan pada pelaku terkadang pelaku juga mengincar perempuan-perempuan dengan pakaian lengkap maksdunya pakaian tertutupun tidak menjamin akan aman dari pelecehan seksual. Maraknya kasus tersebut membuat para perempuan memiliki tingkat anxiety tinggi ketika diluar rumah. Sebenarnya apa sih pelecehan seksual itu ? apakah hanya tentang paksaan untuk melakukan "itu", pelecehan seksual sendiri adalah segala tindakan yang didasari nafsu birahi atau tindakan seksual diluar keinginan, seperti permintaan untuk melakukan hubungan badan, ucapan atau tindakan yang mengarah pada hal seksual, segala perlakuan yang bersifat seksual dan membuat orang lain merasa tersinggung dang merasa terganggu.

Pelaku pelecehan seksual bukan hanya laki-laki yang memiliki gangguan masalah seksual tetapi siapa saja bisa memiliki potensi untuk menjadi pelaku. Pada nyatanya setiap orang baik laki-laki atau perempuan bisa menjadi korban pelecehan seksual. Tindakan pelecehan seksual bisa terjadi di circle kehidupan baik di bidang pendidikan, bidang perekonomian (pelaku ekonimi ; pedangan, pekerja buruh, atasan pabrik, dsb) bahkan di lingkup keluarga tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya pelecehan seksual.

Apa saja sih jenis pelecehan seksual ? jenis pelecehan seksual dibagi menjadi lima kategori yang pertama yaitu pelecehan secara fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan dan mengarah ke perbuatan seksual, yang kedua pelecehan seksual melalui verbal yaitu komentar atau lelucon seseorang yang mengarah ke seksual, yang ketiga yaitu pelecehan isyarat yaitu bahasa tubuh yang bernada seksual, yang keempat pelecehan tertulis dan yang terakhir pelecehan psikologis/emosional yaitu mencakup ajakan terus menerus yang tidak diinginkan, penghinaan atau celaan yang menuju kearah seksual. Terkadang hal-hal yang menuju pada pelecehan seksual sangat minim menjadi perhatian public, ditempat umum sekalipun terkadang para pelaku menggencarkan aksinya dan memangsa korbannya. 

Dalam hal ini terkadang yang disalahkan tidak hanya dari pihak pelaku tetapi pihak si korbanpun ikut disalahhkan dengan kata-kata yang memojokkan mereka, seperti komentar-komentar yang mengatakan bahwa kejahatan seksual terjadi karena pakaian korban yang menggoda atau terlalu minim. Tetapi pada kenyataannya kebanyakan para korban pelecehan seksual adalah mereka-mereka yang berpakaian lengkap. Seperti yang ditampilkan pada pameran di Universitas Indonesia yang menampilkan beberpa pakaian korban pelecehan seksual (sumber : Twitter).

Dampak bagi korban pelecehan seksual adalah korban mengalami stres fisik dan efek-efek psikologis yang dapat menghambat mereka untuk mencapai tempat yang layak di pekerjaan dan pendidikan (Menon dkk, 2009, h.86). Dampak psikologis yang negatif akibat pelecehan seksual meliputi perasaan terhina, putus asa, marah, dikucilkan, dikhianati, kesepian, perasaan terintimasi, frustasi, risih, degradasi dan bersalah (Zastrow dan Ashman, 1989; Abbott, 1992; Magley dkk., 1999). 

Sedangkan Menurut Gutek dkk (dalam Kurnianingsih, 2003, h.125) terdapat pula dampak pelecehan seksual pada organisasional. Dampak tersebut meliputi turnover, menurunnya produktivitas dan munculnya hambatan dalam perkawanan serta korban akan merasa dikucilkan dilingkungan masyarakat. Dampak jangka panjang dari pelecehan seksual pada korban menurut Weber dan Smith (2010) mengungkapkan bahwa ada kemungkinan yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari.

Sebagian besar korban enggan untuk melapor atau menceritakan hal tersebut karena mereka takut akan adanya ancaman yang lebih besar serta mereka akan berpikir bahwa mereka sudah tidak "bersih" lagi, mengisolasi diri mereka bahkan bisa melarikan diri ke obat-obatan terlarang. Pelecehan seksual sangat mengancam kondisi psikoligis si korban tidak hanya kehilangan rasa percaya diri dan mengalami kecemasan, tetapi di korban bisa mengalami psychological disorder atau yang disebut Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), dengan munculnya gejala-gejala berupa ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, dan emosi yang kaku setelah peristiwa traumatis. Menurut Beitch-man et.al (Tower, 2002). Untuk menyembuhkan itu para korban setidaknya menghabiskan waktu 3 tahun untuk bisa mulai mempercayai orang lain lagi.

Untuk mengembalikan kondisi mental para korban keluarga perlu memberikan dukungan social dan memberi kepercayaan lebih pada korban agar mereka tidak menutup diri dari lingkungan social, Dukungan social dari keluarga tidak sepenuhhnya mengurangi intensitas trauma dan kecemasan pada si korban karena kembali lagi ketika kejadian pelecehan seksual itu bagaimana keadaan pikis si korban apakah ia sedang baik-baik saja atau sedang berada di posisi down. Kondisi psikis korban saat kejadian juga mempengaruhi dampak yang akan terjadi. Misal saja ketika kejadian pelecehan seksual kondisi psikis korbaan sedang tidak baik-baik saja katakanlah ia juga menjadi korban bullying maka dampak yang ditimbulkan akan lebih besar.

Selain dukungan social dari keluarga, sekolah juga perlu memberikan edukasi kepada siswa-siswinya tentang tanda-tanda pelecehan seksual, dan lingkungan juga berperan aktif untuk menjaga lingkungannya dari orang-orang yang memungkinkan mejadi pelaku pelecehan. Tindakan preventif pada sekolah biasnaya hanya sampai pada penjelasan bagaimana melindungi diridari orang asing. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mengadakan interview pada anak yang diduga mengalami kekerasan seksual (Huraerah, 2007). Selain wawancara, eksplorasi masalah kekerasan seksual anak perlu pula dilengkapi dengan asesmen yang lebih beragam misalnya melalui observasi, konferensi kasus, asesmen melalui aktivitas menggambar anak, dan sebagainya. Interview pada anak dilakukan untuk mendapatkan informasi yang rasionabel mengenai dugaan adanya kekerasan seksual, bukan sebagai bukti adanya kekerasan seksual itu sendiri (Wilder, 1991). 

Interview dilakukan pada lokasi yang tenang, aman, dan nyaman, jauh dari keramaian orang lain dan konselor diharapkan sama sekali tidak melakukan interupsi. Sikap konselor dan lingkungan sekitar proses wawancara ini seharusnya membuat anak merasa tenang (Wilder, 1991). Kehadiran orang lain dalam ruangan yang sama, seringkali justru meningkatkan kecemasan pada anak (Sciarra, 2004).

konselor sekolah untuk mengamati bahasa tubuh anak selama proses wawancara ini. Beberapa ekspresi nonverbal yang dapat memperkuat dugaan adanya kekerasan seksual antara lain ketidaknyamanan yang ekstrim, penolakan, atau ekspresi malu yang luar biasa pada anak (Sciarra, 2004). Setelah teridentifikasi adanya kekerasan seksual pada siswa, langkah konselor selanjutnya adalah mulai melakukan konseling dan Peran Konselor Sekolah untuk Penanganan Kekerasan terapi bagi siswa. Beberapa program terapi ada yang menggabungkan terapi bermain dengan terapi seni. Suharto (dalam Huraerah, 2007) menjelaskan beberapa model program konseling yang dapat diberikan untuk anak yang mengalami kekerasan seksual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun