Mohon tunggu...
Elisya Karina Apriyanti
Elisya Karina Apriyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum

Potius sero quam nunquam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Senior Kampus: Sang Petinju Dunia Akademik

30 November 2021   20:40 Diperbarui: 6 Desember 2021   21:02 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Para petinju seperti Mike Tyson, Manny Pacquiao, dan Canelo Alvarez seharusnya banyak belajar dari para senior kampus di zaman sekarang, mereka memiliki keahlian yang melebihi para petinju kelas dunia. Kalau hanya sekadar menggunakan kekerasan untuk membuat seseorang pingsan tentulah sangatlah mudah, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan para senior kampus di zaman sekarang. 

Mike Tyson boleh saja menyombongkan diri dengan memenangkan lima puluh pertandingan, tetapi sayangnya ia belum pernah membunuh lawan mainnya. Para petinju kelas dunia yang lain pun masih kalah kemampuannya dengan senior kampus, tidak ada dari mereka yang pernah merenggut nyawa seseorang. Luar biasa bukan para senior kampus di zaman sekarang? Tidak hanya bisa membuat seseorang pingsan dengan kekerasan tetapi juga sampai merenggut nyawa adik tingkatnya. Tentunya keahlian mereka sangatlah mengagumkan, kampus seakan-akan menjadi ring tinju bagi mereka untuk melakukan kekerasan berkedok pembinaan mental. 

Pelatihan Mental Berkedok Senioritas

Akhir - akhir ini, kasus menwa UNS menjadi pembicaraan yang hangat. Lagi - lagi pelatihan berkedok melatih mental menggunakan kekerasan senioritas. Tak heran sebenarnya, senioritas bahkan sudah menjadi tradisi di kalangan para pelajar. Mereka melakukan hal itu seakan-akan menjadi pahlawan yang gagah dan benar akan segalanya. Niat untuk mendapatkan gelar sarjana rasanya memang butuh banyak pengorbanan. Namun, apakah harus mengorbankan nyawa demi itu semua? 

Mahasiswa berinisial GE bukanlah satu-satunya korban dari tradisi kolot ini, masih ada korban yang mungkin masalahnya tidak muncul di permukaan masyarakat. Miris sekali apabila kita mengetahui apa saja yang terjadi dari semua kasus yang disebabkan dari kalangan yang sok pemberani dan paling benar tersebut. Kalangan yang dimaksud adalah mereka yang mungkin di satu sisi menyuarakan tegaknya demokrasi dan keadilan, tetapi di sisi lain merampas hak kehidupan.

Jika dijadikan sebuah drama, mungkin kejadian seperti ini mendapatkan rating yang tinggi, tetapi tidak berlaku bagi penonton yang masih memiliki hati. Perbedaan umur dan tingkatan seperti mengembalikan suramnya masa penjajahan. Memang benar, ini seperti dijajah bangsa sendiri, lebih tepatnya seperti dalam area pertarungan yang salah satu pihak akan terluka. Jiwa sebagai petarung yang mungkin para senior itu miliki sebenarnya tidak mempunyai tujuan mendasar dan bisa dibilang hanya untuk pembalasan dendam yang mereka rasakan.

Alasan Senioritas Harus Dihapuskan

Sudah cukup rasanya jiwa penjajah yang berlindung di balik kalimat “melatih mental dan disiplin adik tingkat” ini terus dilanggengkan. Jika melihat faktanya, tidak ada orang yang bisa mengubah mental dan perilaku dalam waktu yang singkat, pelatihan mental dan disiplin hanyalah akal-akalan senior untuk menuntaskan hasrat balas dendam dan sebuah omong kosong belaka. Selain itu, melakukan kekerasan terhadap pihak yang lemah adalah tindakan yang sangat memalukan, mendahulukan otot daripada otak bukanlah sebuah cerminan sikap mahasiswa. 

Sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia seharusnya kita semua menyudahi tradisi ini, kampus adalah tempat mahasiswa menimba ilmu bukan sebagai sasana ring tinju, pelatihan dengan kekerasan adalah sebuah tindakan yang bertentangan dengan citra mahasiswa sebagai kaum intelektual.

Kekerasan yang terjadi pada kasus menwa UNS tentu saja bukan satu-satunya kasus kekerasan senioritas, dan mahasiswa GE juga bisa saja bukan satu-satunya korban. Maka dari itu, sudahilah melakukan kekerasan senioritas terhadap para mahasiswa baru. Tradisi senioritas tidak memiliki manfaat apapun. Sebaliknya, senioritas hanya akan menimbulkan kekerasan yang berkedok pelatihan mental yang dapat membuat nyawa seseorang hilang begitu saja.  

Kasus kekerasan dalam pelatihan dan orientasi siswa akan terus terjadi jika kita hanya diam dan terus memaklumi tindakan para senior sok pemberani dan merasa paling benar. Oleh karena itu, tradisi yang melanggengkan feodalisme senioritas dan mental penjajah harus segara dihapuskan, jangan sampai kegiatan kampus menjadi ajang balas dendam senior yang terus menerus diturunkan seperti sebuah warisan, masih banyak cara untuk melatih mental para junior tanpa perlu bertingkah seperti malaikat maut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun