Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Hakikat Wanita=Budak Seks?

30 Maret 2019   15:04 Diperbarui: 30 Maret 2019   15:13 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup di negara yang memiliki budaya patriaki sangat kuat dari nenek moyang memang sungguh menyakitkan bagi segelintir wanita di Indonesia. Ruang gerak kehidupan mereka tampaknya sangat  dibatasi oleh apa yang pantas dan tidak pantas, harus dan tidak harus wanita lakukan. "Cewek tu gak usah sekolah tinggi-tinggi nanti juga di dapur", "Cewek gak perlu pinter-pinter nanti cowok gak ada yang deketin".

Meskipun saya jarang mendengar ungkapan menjatuhkan saya, kerap kali saya temukan tidak sedikit keluhan dari wanita-wanita Indonesia yang dilarang untuk melanjutkan sekolah hanya karena alasan-alasan yang menurut saya tampak tidak logis, seperti contoh diatas tadi. Memangnya ada masalah jika wanita mempunyai mimpi besar dan bukan hanya sekadar dapur dan pedamping hidup. Nyatanya wanita juga manusia seperti laki-laki yang mempunyai keinginan untuk diwujudkan, salah satunya yaitu melepas rantai patriaki yang telah menjerat wanita sejak berabad-abad lalu.

Keengganan masyarakat untuk menyadari kapabilitas wanita dalam bersaing dengan laki-laki, seolah membentuk sebuah persepsi bahwa wanita lahir dan dibesarkan dibawah naungan ayahnya hanya untuk ditukarkan oleh suaminya kelak dan hidup dibawah kekuasaan suami.  Padahal sesungguhnya wanita bukan benda kepemilikan yang hidup hanya untuk diserahkan hidupnya kepada laki-laki secara total.

Wanita adalah keutuhan diri sebagai manusia yang berhak untuk hidup bebas tanpa adanya rasa hutang kepemilikan pada laki-laki. Tubuh, jiwa wanita adalah milik wanita sepenuhnya, maka dari itu wanita tidak seharusnya dikekang untuk hidup seperti apa yang 'seharusnya' wanita hidup dalam masyarakat  termasuk dengan keputusannya dalam menikah, bekerja maupun berpendidikan.

Kekelaman patriaki tumbuh jauh sebelum nama Indonesia lahir. Salah satunya, sebagai contoh nyata dapat kita tengok bagaimana sejarah Bangsa Yunani memperlakukan wanita, pada masa itu wanita dijadikan menjadi pemuas seks para laki-laki. Laki-laki dapat melakukan hubungan dengan wanita selain isterinya ketika isterinya sedang tidak dapat melayani suaminya.

Kondisi wanita di Indonesia dulu tidak jauh berbeda dengan wanita pada masa Yunani. Pada zaman Hindia Belanda, wanita dari kalangan keluarga kasta rendah akan diangkat menjadi gundik dan nyai untuk laki-laki Belanda yang ditugaskan di Hindia Belanda. Tugas gundik dan nyai  kurang lebih sama sebagai pembantu rumah tangga sekaligus pelayan seksi bagi laki-laki Belanda.


Fenomena gundik dan nyai menjamur di Hindia Belanda karena pada saat itu jumlah wanita Eropa lebih sedikit dibanding jumlah laki-laki Eropa dan adanya kebijakan laki-laki Eropa wajib menikahi perempuan yang seagama dengan mereka. Maka dari  itu terwujudlah gundik dan nyai. Istilah gundik dan nyai ini kurang lebih menggambarkan wanita pribumi yang diangkat oleh laki-laki Belanda sebagai pelayan mereka.

Ya, hakikat wanita sedari dulu hanyalah sebagai penghias kehidupan laki-laki yang tidak sengaja hadir untuk menguntungkan laki-laki. Hal ini mengingatkan saya dengan kasus pelecahan seksual yang menimpa wanita Indonesia tetapi disayangkan kebanyakan masyarakat Indonesia masih tidak teralu peka dengan masalah yang mengancam wanita. Permasalahan pemerkosaan contohnya, tidak sedikit  masyarakat yang mengecam wanita untuk lebih menutup tubuhnya agar terhindar dari pelecahan seksual dan pemerkosaan, dan saran yang paling gila lagi adalah ajakan untuk menikah agar dilindungi oleh suaminya.

Seolah-olah masyarakat menyetujui bahwa wanita memang ditakdirkan ada sebagai budak seks laki-laki. Jelas ini bukan pemecahan masalah yang ingin didengar oleh wanita Indonesia. Bukan hanya kesetaraan dalam berpendidikan tetapi juga kesataraan untuk memiliki rasa aman dan setara di mata hukum. Entah apa yang membuat masyarakat dengan gampangnya menyalahkan wanita sebagai akar permasalahan pelecehan seksual, padahal wanita adalah korban dari permasalahan itu kekerasan seksual itu sendiri.

Bila ditelusuri dengan logika yang lebih mendalam apakah benar wanita hidup seolah-olah hanya menjadi pemancing libido laki-laki saja? Lalu wanita yang memilih untuk memakai pakaian terbuka secara tersirat menginginkan laki-laki untuk menggodanya? Saya rasa tidak.

Saya jelaskan wanita bukan perumpamaan sebuah permen yang banyak orang lain katakan, jika permen yang dianalogikan sebagai perempuan membuka pembungkus tubuhnya, makan lalat  yang dianalogikan sebagai laki-laki akan datang untuk mengerubuti permen tersebut. Tetapi  wanita dan permen bukanlah bandingan yang kongkrit. Wanita bukan barang yang seenaknya bisa dicicipi dan laki-laki menurut saya sangat jauh jika dibandingkan dengan lalat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun