Mohon tunggu...
Elip Heldan
Elip Heldan Mohon Tunggu... -

Me is me

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pilkada Luar Biasa

20 Maret 2012   01:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:44 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata-kata "luar Biasa" mengarahkan pikiran kita pada situasi kritis kepemimpinan suatu organisasi, sehingga perlu pembenahan dan atau penggantian kepemimpinan. Memang belum pernah terjadi, dan sepertinya tidak akan pernah terjadi dalam konteks penyelengaraan Pilkada luar biasa.

Saya mencoba mengarahkan pikiran pembaca bahwa "luar biasa" disini adalah situasi politik yang mewarnai pra penyelenggaraan Pilkada,  Khususnya Kondisi yang dialami penyelengara Pemerintahan di daerah (Birokrat/PNS).

Sejak era orde baru, era reformasi, hinga sekarang, situasi birokrasi tidak jauh berbeda, birokrasi masih saja dijadikan alat oleh pemimpin (KDH) dalam melanggengkan kekuasaan. Sebut saja memobilisasi Birokrasi untuk pemenangan pilkada periode berikutnya. Aturan tentang larangan PNS terlibat politik praktis hanya isapan jempol. Kenyataannya, semua calon Kepala Daerah Incumbent sangat mudah menyeret mereka dalam pusaran pertarungan Pilkada.   Aturan-aturan dan Undang undang yang mengatur netralitas birokrasi dalam koridor Politik tidak berdaya dengan kewenangan KDH yang dibungkus dengan HAK OTONOM.

Belum lagi penyalahgunaan wewenang untuk mengkondisikan keuangan pemerintah melalui dana bantuan, rekayasa perjalanan dinas, penggunaan pasilitas negara seperti kendaraan dinas dan pasilitas kedinasan lainnya.

Ranah akademis merumuskan konsep agar pilkada menuju kualitas yang baik, sebagai berikut :

1. Penyelengaraan Pilkada yang bersih tanpa adanya kecurangan, penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh calon KDH terutama incumbent

2. Profesionalitas dan akuntabilitas lembaga penyelenggara dan badan pengawas

3. Pemilih rasional mempertimbangkan visi, misi dan program, bukan karena sogokan atau intimidasi

Kenyataannya,  intervensi dan intimidasi terhadap birokrasi menjadi realita yang tidak bisa dipungkiri. Birokrat yang telah menduduki jabatan, berusaha untuk mempertahankan jabatannya dengan berafiliasi pada incumbent, daripada di-non job-kan lebih awal.  Dan PNS yang menjalankan prinsip NETRAL malah menjadi korban, dibiarkajalan ditempat dan tidak diperhatikan karier bahkan tidak dimenfaatkan keilmuan yang dimilikinya.

Ungkapan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi "Politisasi birokrasi yng dilakukan Incumbent dengan memanfaatkan fasilitas kedinasan banyak terjadi".  Reformasi birokrasi yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pembinaan PNS daerah yaitu KDH,  justru mereka sendirilah yang merusak tatanannya.  Disini tampak dengan jelas di depan mata bahwa REFORMASI BIROKRASI ADALAH PROGRAM GAGAL.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun