Kurun waktu tertentu di tahun 1995-1997, saya merasakan kesepian yang terasa mencekam, sepi-sunyi yang menekan, menusuk dan menyesakkan.
Rasa ini biasanya datang menghampiri saya pada jam 6 sore setiap hari. Lebih lagi di pekan pada Hari sabtu.Â
Saat bada Magrib bergema, saya merasakan suasana hening, sepi seketika. Kalau pada sabtu sore, suasana bertambah sepi karena teman-teman kos ada yang ke Masjid, ada yang sudah jalan bareng pacar dan ada yang pulang  ke rumah.Â
Pertanyaan yang seringkali menyesakkan dada pada saat-saat seperti itu adalah "ngga dolan mas, ngga keluar Mas. Malam Minggu ko di rumah saja.?"Â
Pertanyaan-pertanyaan biasanya tiba dari ibu dekat kos. Pertanyaan Yang menambah luka.Â
Masa itu kiriman uang dari rumah tidak selalu rutin. Uang kiriman kebanyakan masih lewat wesel Pos. Bagaimana mau jalan, keluar Malam mingguan? Untuk makan sehari-hari saja lebih sering utang di warung atau non di abang tukang bakso atau mie ayam. Untuk ini, selamanya saya berutang syukur kepada mereka.Â
Saya mulai merasa gembira lagi kalau masuk Jam 9 atau 10 malam. Teman-teman yang malam mingguan sudah pada pulang. Suasana kos kembali ramai, Ada nyawanya.Â
Suasana sepi mencekam begitu terus terus terasa selama 2 tahun. Ada waktu tertentu menghadiri acara bareng teman atau jalan ke Parangtritis atau Kaliurang kalau Ada pesta syukuran wisuda.Â
Di akhir 1997, saya ke Italia bekerja di Kapal Pesiar Perancis MS Mermoz yang sedang dog di Genoa, Italia. Suasana mencekam tidak lagi terasa.Â
Note: catatan receh sambil nunggu giliran urus Kartu Keluarga di Kelurahan Ujung Menteng.Â