Mohon tunggu...
elfina
elfina Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Ahmad Dahlan

'19

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengulas Sisi Lain Media Sosial dalam Film Dokumenter "The Social Dilemma"

15 Juli 2021   19:52 Diperbarui: 15 Juli 2021   20:33 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Media sosial adalah sesuatu yang sudah menjadi bagian hidup dari manusia. Media sosial sudah mendarah daging pada kegiatan sehari-hari kita, apabila kita sedang tidak melalukan kegiatan apapun, secara retlek kita akan membuka media sosial. Walaupun media sosial pada dasarnya memiliki tujuan yang baik, namun penggunaannya semakin lama semakin menyeramkan. Hal ini dibabas dalam salah satu film dokumenter yang dikeluarkan pada platform Netflix berjudul The Social Dilemma.

"The Social Dilemma" adalab salah satu film dokumenter yang membongkar dampak-dampak negatif dari media sosial. Disutradarai oleh Jeff Orlowski, film The Social Dilemma ini memberikan gambaran betapa menyeramkannya media sosial yang sudah melekat pada kehidupan manusia. Dengan memantau aktifitas penggunanya, tanpa kita sadari media sosial dapat mengelompokan seseorang itu masuk kedalam kategori Exrovert atau Introvert. Dari data-data tersebut kemudian digunakan untuk memprediksi konten seperti apa yang akan mereka rekomendasikan untuk para penggunanya.

Secara garis besar film ini berisi pandangan dari para mantan pegawai dan eksekutif besar perusahaan teknologi dan media sosial seperti google, facebook, instagram. pinterest. dll. Seperti yang disampaikan oleh Giuillaume Chastot, ia mengukui bahwa Youtube turut meningkatkan polarisasi diengah masyarakat. Kemudian Sandy Parakilas mantan manager operasional facebook juga mombeberkan somua data yang pengguna berikan setiap saat dan mereka terus membuat prediksi yang makin membaik tentang apa yang kita lakukan di social media dan siapa sebenarnya diri kita. Memang pada awalnya social media bertujuan untuk memudahkan berkomunikasi dengan orang-orang yang sudah lama tidak bertemu, mempermudah komunikasi jarak jauh, memperbanyak teman dan relasi, namun makin kesini algoritma itu memiliki tujuannya untuk orang-orang agar semakin lama menggunakan media sosial. Algoritma yang diceritakan pada film ini juga menampilkan bahwa media sosial dapat mengukur dan mengetahui kondisi yang sedang di rasakan oleh penggunanya. Misalnya saat kita sedang sedih, bahagia, kesepian, depresi bahkan mercka tahu apa yang kita lakukan dengan media sosial kita selama 24 jam. Memang tidak bisa dipungkiri media sosial saat ini di ibaratkan seperti kendaraan untuk mengoptimalkan hubungan antar manusia dan menimbulkan kecanduan. Film ini jugn mengilustrasikan bagaimana media sosial bekerja untuk mempengaruhi serta mengubah sikap seta pola pikir penggunanya. Dalam film ini ada scene dimama tiga orang berada di balik layar handphone yang sedang mengontrol pengguna saat memakai media sosial. Disaat kita sedang menginginkan suatu produk, maka dalam media sosial akan muncul produk yang kita inginkan. Disaat sedang sedih, explore instagrum scolah-olah mengerti dan memunculkan Quotes yang sesuai dengan isi hati.

Perusahaan media sosial memiliki 3 tujuan utama yaitu untuk mendorong pengguna untuk terus menggulirkan layar, mendapat pengguna baru, dan menghasilkan uang melalui iklan. Mereka merancang cara khusus agar penggunanya dapat terus terpaku selama berjam-jam di media sosial. Alasannya yaitu untuk meningkatkan engagement. Dari sudut pandang bisnis, sangat efisien untuk membuat pengguna terus online sehingga durasi untuk melihat dan menonton konten di media sosial semakin panjang. Tidak bisa dipungkirkan, ini sudah menjadi sebuah bisnis. Untuk menumbuhkan engagement itu, maka media sosial menumbuhkan sesuatu yang disukai banyak orang. Dengan ini, perusahaan-perusuhaan sosial media dengan mudahnya mendapatkan data aktivitas pengguna sehingga iklan dengan mudah menyesuaikan dengan interest sescorang. Disaat kita membuka scsuatu konten, maka iklan yang ditampilkan di social media pun akan mengikuti apa yang sedang kita inginkan.

Para narasumber scperti Tristan Harris, Scan Parker, Sandy Parakilas, Cathy O'Neil, Aza Razkin Jaron Lanier. Guilaume Chaslot. Baiey Richardson, dan Joe Toscano merckomendasikan untuk mengambil tindakan penccgahan untuk melindungi diri sendiri dari media sosial dengan cara mematikan notifikasi atau kurangi jumlah notifikasi yang kita terima. Yang kedua kita bisa copot pemasangan media sosial dan aplikasi berita yang membuang-buang waktu, ketiga kita menggunakan mesin pencari yang tidak menyimpan rivayat pencarian, dan yang terakhir hindari materi konten clickbait. Dari pernyataan narusumber di dalan film terscbut, ini juga merupakan cara yang saya lakukan untuk mengurangi media sosial. Karena kita berada pada lingkungan media, kita tidak bisa lepas dari dunia digital. Disaat sedang mengerjakan tugas atau ngedit konten, lalu terdistraksi oleh media sosial, tidak terasa kita sudah membuang waktu banyak. Pada saat itu, yang saya lakukan adalah menaruh social media di tempat yang susah untuk digapai, dan notifikasi pun harus kita matikan apabila sedang mengerjakan sesuatu untuk meminimalisir distraksi.

Menurut saya, media sosial merupakan sesuatu yang sulit untuk dijabarkan, karena media sosial ini memberikan dampak positif juga didalam kehidupan apabila kita memanfaatkannya untuk membuka hal-hal yang membangun. Yang saya fikirkan adalah, disaat kita menggunakan media sosial selama satu jam, apa hal yang kita dapatkan sclama membuka media sosial itu. Apabila kita membuka suatu hal yang positif maka output yang dihasilkanpun akan positif, begitupun scbaliknya. Yang menjadi masalah disini adalah kurangnya minat untuk belajar, yang ingin dilihat atau dicari oleh pengguna social media itu kebanyakan untuk hiburan dan kontroversi. Sehinggu para creator lebih mengedepankan engagement dibandingkan edukasi. Kesimpulannya adalah algoritma hanya akan mengikut interest yang kita punya, bukan ia yang mencarikan konten untuk kita.

Banyak orang di Sillicon Valley yang meyakini sebuah teori bahwa mereka sedang membangun otak super global dan semua pengguna hanyalah neuron kecil yang bisa ditukar, tak ada yang aneh. Itu memaksa orang mengambil peran yang aneh yang menjadikan kita scbuah elemen komputer kecil yang diprogram lewat manipulasi perilaku untuk melayani otak raksasa ini dan kita tak penting. Kita takkan dibayar, diakui dan tak bisa menentukan nasib sendiri. Mereka akan diam-diam memanipulasi karena kau simpul computer.

Ini bukan soal teknologi yang menjadi ancaman eksitensial. Namun kemampuan teknologi untuk menghadirkan versi terburuk pada masyarakat dan kemungkinan terburuk itulah ancaman eksistensinya. Jika teknoogi menciptakan kckacauan massal, kemarahan, ketidaksopanan, kurang saling percaya, kesepian, itulah masyarakat. Dan masyarakat ini tak bisa menyembuhkan dirinya sehingga berubah menjadi semacam kckacauan. Ini memengaruhi semua orang meski kita tak memakai produk ini.

Perlombaan untuk menarik perhatian orang tak akan hilang. Teknologi kita akan menjadi lebih menyatu dengan kehidupan kita. Ia akan lebih mahir memprediksi hal yang membuat kita terus menatap layar. Jika kita teruskan situasi saat ini, angguplah hingga 20 tahun lagi, peradaban kita mungkin akan hancur karen kebodohan yang disengaia Kita mungkin akan gagal menghadapi tantangan perubahan iklim. Kita mungkin memperburuk demokrasi dunia, kita mungkin merusak ekonomi digital, kita mungkin tak akan pernah selamat. Teknolgi ini membingungkan, dia tak selamanya menghancurkan karena utopia dystopia.

Saat kita menciptakan tombol like pada Facebook mereka berharap akan menyebarkan aura positif karena menebarkan kebahagiaan, namun nyatanya kini remaja tertekan saat tak banyak dapat respon "suka". Mereka tak berniat jahat, hanya model bisnisnya yang bermasalah. Mungkin kita harus menerima bahwa boleh saja setiap perusahaan berfokus untuk menghasilkan uang, yang buruk adalah saat tak ada regulasi, aturan dan persaingan. Kita hampir tak punya hukum yang mengatur tentang privasi digital. Ada saatnya semua ini tak hanya tentang sebuah profit.

Kita hidup di dunia tempat pohon mati bernilai lebih secara finansial daripada yang hidup. Dunia tempat paus mati lebih berharga daripada yang hidup. Jika ekonomi kita terus bekerja seperti itu dan perusahaan tak diatur. Mereka akan terus menghancurkan pohon, membunuh paus, menambang tanah, dan terus menarik minyak dari tanah meski kita tahu itu menghancurkan planet dan membuat dunia yang lebih buruk untuk generasi mendatang. Ini pemikiran jangka pendek berdasarkan perilaku manusia yang menuhankan keuntungan ini seolah-olah secara ajaib, tiap perusahaan yang bertindak egois ini akan memberikan hasil terbaik. Coba untuk menganggap bahwa kini kitalah pohon dan pausnya. Dengan nilai dan tujuan hidup kita yang sebenarnya daripada terus melulu menghabiskan waktu untuk menatap layar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun