Digitalisasi dan globalisasi dalam perdagangan membuka peluang yang sangat luas. Dengan janji dunia tanpa batas, digitalisasi perdagangan memungkinkan siapa pun, di mana pun, untuk berjualan, membeli, dan berinteraksi secara bebas tanpa terikat ruang dan waktu. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan : apakah e-commerce benar-benar membuka peluang untuk semua, atau justru mempersempit ruang bagi pelaku usaha kecil?
Fenomena dominasi platform e-commerce besar seperti Amazon, Alibaba, dan Shopee di pasar global telah memunculkan pergeseran serius dalam peta perdagangan dunia. Mereka menawarkan kemudahan luar biasa bagi konsumen: harga lebih murah, pilihan lebih banyak, dan layanan cepat. Namun, di balik gemerlap kenyamanan itu, UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) justru terseok-seok untuk bertahan.
Globalisasi digital, meskipun dibungkus dalam janji demokratisasi ekonomi, dalam praktiknya sering kali mengulang pola-pola ketimpangan yang selama ini terjadi dalam globalisasi fisik. Platform raksasa, dengan kekuatan modal dan teknologi yang jauh melampaui pelaku lokal, beroperasi dengan logika "winner takes all." Pemenangnya mengambil hampir semua pasar; sisanya harus berebut remah-remahnya.
TikTok Shop dan Alarm untuk UMKM
Salah satu contoh nyata baru-baru ini adalah kasus TikTok Shop di Indonesia. Pada awal kemunculannya, TikTok Shop menjanjikan jalan pintas bagi pedagang kecil untuk memasarkan produk mereka secara lebih luas. Tidak sedikit UMKM yang melihat TikTok Shop sebagai peluang untuk memperbesar jangkauan bisnis tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Namun seiring waktu, platform ini justru berubah menjadi pasar raksasa yang banyak dikuasai oleh pemain besar, termasuk produk impor murah dari luar negeri. Kompetisi menjadi tidak seimbang. Pedagang kecil lokal kesulitan bersaing harga dengan barang-barang massal berharga murah yang membanjiri pasar.
Akibatnya, pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas dengan melarang praktik social commerce, yaitu aktivitas jual beli langsung dalam platform media sosial.
Keputusan ini memicu perdebatan luas. Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa regulasi semacam ini bisa menghambat inovasi digital. Namun di sisi lain, banyak pula yang menilai bahwa langkah ini perlu untuk melindungi ekosistem UMKM lokal, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Meskipun larangan tersebut tidak sepenuhnya menutup aktivitas TikTok Shop, perubahan besar tetap terjadi. TikTok kemudian beradaptasi dengan menggandeng Tokopedia, dalam upaya untuk tetap beroperasi sesuai regulasi. Dengan model bisnis baru ini, transaksi tidak lagi dilakukan langsung dalam platform media sosial, melainkan melalui kerja sama dengan platform e-commerce.
Kasus TikTok Shop ini mengajarkan satu hal penting: tanpa regulasi yang jelas dan proteksi terhadap pasar lokal, platform digital besar bisa mengganggu keseimbangan perdagangan domestik.
Pasar Lokal: Terancam oleh Skala Global