Mohon tunggu...
Elfahd Hanny Bramantyo
Elfahd Hanny Bramantyo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jember, suka mengenai hal-hal berbau politik dan perkembangan teknologi (Globalisasi)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pasar Bebas yang Tak Benar-Benar Bebas: Neo-Merkantilisme dan Ketimpangan Global

13 April 2025   22:03 Diperbarui: 13 April 2025   22:03 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Contoh paling mencolok adalah Republik Demokratik Kongo yang mengekspor bijih kobalt senilai tiga miliar dolar per tahun, namun harus mengimpor baterai lithium senilai lebih dari sepuluh kali lipat dari Tiongkok. Ini mencerminkan betapa nilai tambah dalam rantai pasok global tetap terkonsentrasi di negara-negara maju dan industrialis.

Selain itu, liberalisasi finansial sering kali menjadi pisau bermata dua. Negara seperti Sri Lanka pernah mengalami krisis ekonomi akibat keterbukaan pasar yang terlalu cepat, sehingga menciptakan ketergantungan utang dan impor pangan yang kronis.

Institusi Global dan Hegemoni Kepentingan

Institusi global seperti WTO dan IMF yang seharusnya menjamin keadilan perdagangan justru kerap dituding berpihak pada kepentingan negara maju. Dalam banyak kasus, negara berkembang dipaksa mengikuti kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan domestik mereka, seolah-olah liberalisasi ekonomi adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan. Ketimpangan representasi dalam pengambilan keputusan juga membuat suara negara berkembang kerap terpinggirkan, menjadikan lembaga-lembaga ini lebih sebagai alat legitimasi kepentingan geopolitik negara adidaya.

Ketika Indonesia memberlakukan larangan ekspor bijih nikel demi mendorong hilirisasi, Amerika Serikat menggugat kebijakan tersebut ke WTO dengan dalih melanggar prinsip pasar bebas. Namun di saat yang sama, AS sendiri membatasi ekspor chip canggih ke Tiongkok dengan alasan keamanan nasional, sebuah bentuk "double standard" yang membahayakan kredibilitas institusi global dan menegaskan bahwa aturan hanya ditegakkan bila menguntungkan pihak yang berkuasa.

Di ranah digital, bentuk baru neo-merkantilisme juga bermunculan. Negara-negara maju melalui perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Meta, dan Amazon memanen data dari miliaran pengguna di negara berkembang, sementara pajak digital yang seharusnya diterima negara asal pengguna malah mengalir ke Silicon Valley. Ketimpangan digital ini memperlebar jurang antara negara maju dan berkembang. Dalam kasus vaksin COVID-19, monopoli paten oleh Pfizer dan Moderna juga menyebabkan keterlambatan distribusi vaksin di Afrika karena aturan hak kekayaan intelektual (TRIPS) yang ketat, meskipun pandemi adalah krisis global yang menuntut solidaritas, bukan dominasi pasar.

Strategi Melawan Ketimpangan: Apa yang Bisa Dilakukan Negara Berkembang?

Menghadapi sistem yang timpang, negara berkembang tidak bisa terus-menerus bersikap pasif. Dibutuhkan keberanian politik dan strategi ekonomi yang berpihak pada pembangunan jangka panjang. Beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain:

  • Membangun Blok Dagang Regional yang Solid, Inisiatif seperti ASEAN Battery Alliance menunjukkan potensi kerja sama regional dalam membangun industri bernilai tambah, mengurangi ketergantungan pada aktor eksternal, dan memperkuat posisi tawar dalam negosiasi perdagangan.
  • Mendorong Reformasi Institusi Global, Negara-negara berkembang perlu bersatu dalam menuntut transparansi, penghapusan subsidi pertanian di negara maju, dan pengakuan atas kebutuhan kebijakan industri yang fleksibel.
  • Menempuh Strategi "Developmentalist" yang Terukur, Seperti yang dilakukan Korea Selatan pada era 1980-an, proteksi selektif terhadap industri strategis disertai dengan kebijakan industrialisasi agresif bisa menjadi jalan keluar dari ketergantungan struktural.
  • Menegakkan Kedaulatan Digital (Digital Sovereignty), Negara berkembang harus mengembangkan regulasi data yang melindungi sumber daya digital mereka, serta memastikan bahwa keuntungan ekonomi digital tidak hanya dinikmati oleh negara maju.

Neo-merkantilisme dalam wujud modern membuktikan bahwa pasar bebas hanyalah ilusi selama kekuatan ekonomi tidak merata. Negara maju yang kini menikmati kemakmuran tidak mencapainya melalui keterbukaan pasar sejak awal, tetapi melalui proteksionisme, intervensi negara, dan kebijakan industrialisasi yang kuat. Kini, setelah mencapai posisi dominan, mereka justru memaksakan aturan pasar bebas kepada negara yang masih berjuang mengejar ketertinggalan.

Seperti yang ditegaskan oleh ekonom Ha-Joon Chang, "Negara maju memaksakan pasar bebas kepada negara miskin setelah mereka sendiri mencapai kemakmuran lewat proteksi." Pernyataan ini bukan hanya kritik, tetapi peringatan keras bagi negara berkembang agar tidak terjebak dalam dogma yang dibuat untuk mempertahankan status quo.

Sudah saatnya negara berkembang menyadari bahwa mereka tidak wajib tunduk pada narasi ekonomi global yang tidak menguntungkan mereka. Dengan kerja sama, kebijakan yang tepat, dan keberanian untuk melawan standar ganda, ketimpangan global dapat dilawan dan perdagangan internasional bisa menjadi alat pembangunan yang inklusif, bukan alat hegemoni segelintir pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun