Mohon tunggu...
Elfahd Hanny Bramantyo
Elfahd Hanny Bramantyo Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jember, suka mengenai hal-hal berbau politik dan perkembangan teknologi (Globalisasi)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pasar Bebas yang Tak Benar-Benar Bebas: Neo-Merkantilisme dan Ketimpangan Global

13 April 2025   22:03 Diperbarui: 13 April 2025   22:03 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era globalisasi, istilah seperti "pasar bebas" dan "liberalisasi ekonomi" kerap didengungkan sebagai jalan utama menuju kemakmuran. Retorika ini, didorong kuat oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang yang terkesan menjanjikan keterbukaan ekonomi global yang menguntungkan semua pihak. Namun, di balik semboyan tersebut, praktik-praktik proteksionis justru semakin diperhalus dalam bentuk neo-merkantilisme. Secara terselubung, negara-negara ini melindungi kepentingan nasionalnya melalui berbagai kebijakan yang tidak sepenuhnya sejalan dengan semangat pasar bebas. Ironisnya, mereka tetap menuntut negara berkembang untuk membuka pasar mereka demi menjunjung "level playing field".

Lebih dari sekadar kebijakan, praktik ini telah menjelma menjadi instrumen hegemonik yang mengunci negara berkembang dalam posisi subordinat. Ketika dominasi ekonomi dipertahankan melalui regulasi global yang bias, negara-negara berkembang dipaksa bermain dalam sistem yang sejak awal tidak berpihak pada mereka.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan fundamental: benarkah pasar bebas berlaku adil untuk semua negara? Atau apakah sistem perdagangan internasional telah direkayasa untuk mempertahankan dominasi ekonomi segelintir pihak saja?

Neo-Merkantilisme: Proteksionisme Berbalut Retorika Globalisasi

Secara historis, merkantilisme klasik abad ke-18 berpijak pada prinsip ekspor sebanyak-banyaknya, menekan impor, dan mengumpulkan kekayaan negara dalam bentuk logam mulia. Meskipun teori ekonomi modern telah lama mengecam pendekatan ini sebagai usang dan tidak efisien, faktanya prinsip merkantilisme masih lestari dalam bentuk modern: neo-merkantilisme.

Negara-negara maju saat ini mempraktikkan proteksionisme dengan cara yang lebih tersamar. Mereka gencar menekan negara berkembang untuk membuka pasar melalui lembaga-lembaga seperti WTO dan IMF, sambil tetap menerapkan subsidi domestik, hambatan non-tarif, hingga kebijakan nasionalisme ekonomi di dalam negeri mereka.

Sebagai contoh, Uni Eropa memberikan subsidi tahunan sebesar 50 miliar kepada petani mereka melalui Common Agricultural Policy (CAP), menjadikan produk-produk agrikultur dari negara berkembang, terutama di Afrika yang tidak kompetitif di pasar global. Sementara itu, Amerika Serikat memberlakukan standar sanitasi ketat terhadap produk impor seperti daging dari Brasil, dan Jepang menyulitkan masuknya beras asing dengan regulasi kualitas tertentu.

Lebih dari itu, Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi baru juga tidak luput dari praktik neo-merkantilisme. Negara tersebut membanjiri pasar global dengan produk seperti panel surya dan baja yang disubsidi, memukul industri dalam negeri negara-negara Asia Selatan dan Tenggara.

Pasar Bebas yang Tidak Netral: Ketimpangan sebagai Produk Sistemik

Praktik-praktik ini menciptakan ironi: negara maju menuntut keterbukaan dari negara berkembang, namun tetap mempertahankan privilese proteksionis untuk kepentingan nasional mereka. Retorika tentang "fair competition" dan "equal opportunity" menjadi slogan kosong, karena struktur sistem perdagangan global justru mengabadikan ketimpangan.

Laporan Oxfam (2023) menyatakan bahwa 1% populasi terkaya dunia menguasai 63% dari kekayaan baru sejak tahun 2020. Ketimpangan ini bukan semata-mata akibat dinamika pasar, tetapi merupakan hasil dari kebijakan ekonomi yang tidak setara. Negara-negara berkembang terjebak dalam siklus sebagai eksportir bahan mentah dan importir barang jadi, membuat mereka sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan tekanan eksternal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun