Dia memburuku. Mengejar-ngejarku di setiap waktu dan kesempatan. Membuatku nyaris gila.
Seperti pagi ini, belum sempat aku menyentuh secangkir kopi di atas meja, tahu-tahu ia muncul seraya menodongkan pistol tepat di pelipis mata kananku.
"Kau tidak akan bisa melarikan diri lagi," ujarnya sinis. Aku yang semula duduk tenang, berubah gelisah. Untunglah Meidina datang. Dan itu membuatnya mendadak pergi.
"Habiskan dulu kopimu," Meidina duduk di sebelahku. Meraih koran pagi di bawah meja.
"Media masih dikuasai oleh berita-berita tak sedap seputar anggota dewan yang dinyatakan buron itu," Meidina melanjutkan dengan suara bergumam. Aku malas menanggapi. Tanganku terulur, menangkup pinggang cangkir dan menggoyang-goyangkan isinya yang masih panas.
"Kau seharusnya ikut berpikir tentang masalah ini, Hermes. Itu bagus untuk kesehatan otakmu, menghindarkanmu dari..." Meidina melirik sekilas ke arahku.
"Dari kepikunan? Kukira aku masih jauh dari kata pikun itu, Mei," aku menyeruput sedikit kopiku.
"Orang-orang semacam ini jika dibiarkan akan terus merajalela," Meidina mengemukakan pendapatnya.
"Aku bisa menangkapnya, Mei. Kalau aku mau."
Meidina mengernyit alis. Jelas sekali ia tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.
"Mengapa tidak segera kau lakukan?"