Benar nggak sih, teman bisa jadi musuh?
Aku pernah punya teman yang sangat baik, dan hubungan pertemanan kami dulu itu sangat akrab. Kami selalu bersama, nggak pernah pisah, saling membantu saat susah maupun senang. Aku selalu berbagi cerita apa pun sama teman terbaikku, dan apa pun yang aku rasakan, dia selalu ada.
Berteman itu memang menyenangkan. Kita nggak merasa sendiri, dan saat kita sedih, dia selalu ada untuk mendengarkan dan menghibur kita. Kami sering jalan berdua, ngerjain tugas bareng, curhat sampai larut malam, bahkan nangis bareng kalau lagi capek sama masalah hidup. Walaupun kadang kami bertengkar, nggak lama pasti baikan lagi, karena rasa sayang dalam pertemanan itu lebih besar dari emosi sesaat.
Aku pikir, pertemanan kami akan selalu seperti itu. Semakin lama, semakin dekat, semakin akrab, dan saling menjaga. Tapi ternyata, nggak semua pertemanan berakhir indah seperti yang kita bayangkan. Ada saat di mana teman yang dulu selalu bersamaku justru menjadi orang yang membuatku jatuh. Dia yang dulu selalu bersamaku, suatu hari mulai berubah. Dia mulai menceritakan keburukanku kepada orang lain, membicarakan hal-hal yang sebenarnya nggak perlu dia ceritakan.
Awalnya aku nggak percaya. Aku berpikir, mana mungkin dia melakukan itu ke aku? Tapi lama-kelamaan, aku sadar kalau dia memang benar-benar berubah. Teman yang dulu jadi tempatku berbagi cerita, ternyata bisa menjadi orang yang menusukku dari belakang. Sakit rasanya, apalagi kalau mengingat semua hal baik yang sudah kami lalui bersama. Ternyata, teman sendiri bisa menjadi musuh yang paling membuat kita terluka.
Dari pertemanan ini, aku belajar satu hal penting jangan pernah salah memilih teman. Nggak semua orang bisa menerima kekurangan dan kelebihan kita. Mereka hanya mau bersama kita saat kita punya sesuatu yang mereka suka, tapi saat kita nggak sesuai harapan mereka, kita dijauhi bahkan dibicarakan.
Aku juga belajar untuk nggak terlalu berharap pada manusia. Karena manusia itu nggak selalu bisa dipercaya, bahkan teman terdekat sekalipun. Kadang, kita merasa dibodohi atas perlakuannya, tapi dari situ aku belajar untuk lebih berhati-hati dalam berteman, lebih selektif, dan lebih menjaga hati.
Karena pada akhirnya, nggak semua orang yang dekat dengan kita benar-benar tulus. Dan sekarang, aku memilih untuk tetap baik, tetap belajar, dan tetap berhati-hati dalam memilih siapa yang pantas disebut teman sejati.
Kesimpulan
Teman sendiri itu adalah diri kita sendiri baik buruk nya hanya diri sendiri yang tahu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI