SEJAK awal tahun baru 2020 DKI Jakarta seolah "belum bosan" menampung curah hujan yang turun dari langit atau air kiriman dari Bogor Jawa Barat. Â lihat dan saksikan sendiri, ibu kota negara ini terus-terusan tergenang dan di kepung banjir.
Ya, banjir besar yang terjadi awal tahun baru akibat curah hujan ektreem. Bahkan menurut catanan BMKG seperti dilansir dari Kompas.com, curah hujan ini disebut-sebut paling tinggi sejak 1886 atau sejak ada pencatatan tentang curah hujan.
Berdasarkan catatan BMKG itu, curah hujan paling tinggi terjadi di Bandara Halim Perdanakusuma: 377 mm/hari, di TMII: 335 mm/hari, Kembangan: 265 mm/hari; Pulo Gadung: 260 mm/hari, Jatiasih: 260 mm/hari, Cikeas: 246 mm/hari, dan di Tomang: 226 mm/hari.
Dampak banjir yang melanda Kota Jakarta dan sekitarnya, ratusan ribu penduduk harus dievakuasi dan diungsikan dan puluhan orang meninggal dunia. Sementara kerugian materi disebut-sebut menyentuh angka triliunan rupiah.
Lepas dari banjir awal tahun baru, bencana serupa datang kembali mengepung Jakarta pada pekan-pekan pertama bulan Februari 2020. Sejak itu, banjir seolah tidak mau berhenti, hingga saat ini jelang akhir bulan.
Sudah barang tentu, akibat banjir yang terus-terusan membuat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjadi sasaran empuk publik dan warganet menumpahkan segala kekesalannya. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini dianggap tidak memiliki solusi jitu mengatasi banjir.
Bahkan tidak sedikit publik yang menganggap Anies Baswedan kurang begitu fokus terhadap penanganan banjir. Benarkah?
Dalam kesempatan ini, penulis hanya ingin mencoba untuk berhipotesa, terkait hati dan pikiran Anies tentang banjir yang terus mengepung wilayahnya.
Penulis meyakini, bahwa setiap pemimpin yang ada di negara ini masih memiliki hati. Tentu saja tidak akan ada satu pemimpin pun yang tega membiarkan rakyatnya terlantar dan sengsara, kecuali mungkin hanya pemimpin dzolim.
Demikian pula Anies Baswedan, penulis kira tidak termasuk dalam kategori pemimpin dzolim. Dalam lubuk hatinya, penulis yakin bahwa mantan Rektor Universitas Paramidina ini tidak menghendaki daerah yang dipimpinnya terus-terusan dikepung banjir dan membiarkan warganya jadi korban.
Hanya saja, apa yang ada dalam hatinya ini tidak bisa diaplikasikan terhadap pikirannya, berupa gagasan kongkrit untuk bisa mengatasi banjir.