Mohon tunggu...
elafaNURIStiya
elafaNURIStiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa_Hobi Random

(Kiki@rt) Don't to be great to be creative, art is fun. Let's is flow to guide your talent's. Wokke😑🗿

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kenali Apa yang Kamu Pelajari-KPI IAI Syarifuddin Lumajang

28 November 2022   14:38 Diperbarui: 28 November 2022   14:44 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Harry Purwanto, M.I.Kom

Menjadi Mahasiswa tidak hanya datang ke kampus, duduk di bangku kelas, mendengarkan materi Dosen, dan pulang ke rumah. Tetapi Mahasiswa itu harus peka, Mahasiswa itu harus berpikir lebih kritis, dan menanamkan rasa ingin tau tentang semua hal. Setiap kata yang tidak dijelaskan dengan rinci oleh Dosen, maka kata itu harus dicari tau sendiri tanpa diperintah. 

Jika ada yang bilang, "Saya bukan orang kepo,"

Lho, justru Mahasiswa itu harus kepo. Asalkan kepo itu masih dalam porsinya. Yang di maksud kepo disini adalah rasa penasaran dengan pengetahuan, bukan penasaran dengan urusan orang. Isi kepala Mahasiswa harus dipenuhi pertanyaan-pertanyaan Apa? Kenapa? Bagaimana? Untuk apa? Siapa? Kapan? Berapa?, dan kemudian mencari tau jawabannya dari berbagai sumber. Nah, Mahasiswa itu harus berpikir dan mencari, bukan hanya sekedar menerima apa yang diberi. Cara pandang sebagai siswa harus mulai diubah dari sekarang, jika cara pandang tersebut masih melekat hingga lulus, maka kuliah yang selama ini di tempuh hanya akan mendapat gelar tanpa ilmu.

Pada pertemuan kedua, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Semester 1 dengan Dosen Harry Purwanto, M.I.Kom. Beliau menjelaskan secara singkat tentang sejarah jurnalistik yang selama ini mereka pelajari. Sedikit mengetes para Mahasiswa, apakah mereka telah menghilangkan cara pandang sebagai siswa atau masih menggunakan cara pandang yang sama di perkuliahan ini? Dengan memberi keterangan materi hanya dengan kalimat pokoknya. Namun, ternyata para Mahasiswa masih menunggu untuk disuruh mencatat dan mencari tau.

"Orang merasa butuh, karena itu penting," ujar Harry, Dosen Pengantar Jurnalistik IAI Syarifuddin pada Ahad (27/11/2022).

Namun, masih banyak Mahasiswa tidak merasa bahwa "suatu hal" itu dianggap penting karena merasa "hal" itu tidak dibutuhkan atau masih belum dibutuhkan. Sebelum menunggu kapan akan dibutuhkan, Mahasiswa perlu menanamkan sifat "semua hal itu penting". Misal, membaca buku tentang sejarah, karena merasa nantinya dia akan membutuhkan pengetahuan dari buku sejarah tersebut. Entah kapan itu akan dibutuhkan? Yang jelas semua ilmu tidak akan pernah sia-sia. Jika kebetulan adik atau temannya bertanya bagaimana sejarahnya? Maka ia dapat menjawabnya tanpa perlu mencari, karena buku yang pernah ia baca sebelumnya.

Oleh karena itu perlu adanya rasa ingin tau dan mengenali lebih dulu apa yang kita pelajari. Seperti Mahasiswa Komunikasi yang mempelajari ilmu Pengantar Jurnalistik, mereka perlu mengetahui terlebih dahulu darimana jurnalistik itu berasal.

Sejarah jurnalistik merujuk pada kata "Acta Diurna" yakni berarti papan pengumuman yang diyakini sebagai produk jurnalistik pertama di dunia pada zaman Romawi Kuno, masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM). Julius Caesar pun disebut sebagai "Bapak Pers Dunia".

Secara harfiah, kata jurnalistik berasal dari kata "Diurnal" yang dalam bahasa Latin berarti "harian" atau "setiap hari". 

Kegiatan ini bermula ketika Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan anggota senat sehari-hari di umumkan pada "Acta Diurna" agar diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan di pusat kota yang disebut "Forum Romanum" untuk diketahui khalayak umum.

Kemudian kegiatan penyebaran informasi tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan teknik pembuatan kertas dari tumbuhan yang bernama "Phapyrus". Dan pada abad 8 M, muncul surat kabar cetak pertama dengan nama "King Pau" atau Tching-pao, artinya "Kabar dari Istana" di Cina, tepatnya tahun 911 M.

Kemudian surat kabar berubah sejak ditemukannya mesin cetak pertama oleh Johan Guttenberg pada 1450. Dari sini kemudian muncul istilah "Press" yang berarti tekan (untuk mencetak perlu di tekan).

Surat kabar cetakan pertama muncul di Eropa, tepatnya di Belgia pada tahun 1605 dengan nama Niewe Tijdinghen. Kemudian disusul oleh Avisa, Relation Order Zeitung tahun 1609 di Jerman.

Kehidupan Pers di Indonesia sangat sulit karena ketatnya pemerintah Belanda melakukan pengawasan melalui Undang-undang Pers tahun 1856 pada masa penjajahan. Hingga menjelang proklamasi, Mahasiswa yang pernah belajar di Belanda menunjukkan semangat perjuangan melalui Pers. Soekarno menjadi Pemred dan penerbit majalah Fikiran Rakjat, Hatta menjadi penulis tetap Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat, dan Agus Salim menjadi Pemred Mestika.

Kemudian pada 09 Februari 1946, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) lahir di Surakarta. Mereka menegaskan bahwa Pers adalah sebagai alat perjuangan dan penggerak pembangunan bangsa.

Hingga kemudian pada tahun 1920-an, mulai muncul pesaing baru di dunia pemberitaan dengan maraknya radio berita. Dan masa surutnya pembaca media cetak, mulai hilang sejak munculnya televisi. Penyebaran informasi mulai berkembang pesat bersamaan dengan perkembangan teknologi komputer dan internet. Di era ini lah, media jurnalistik multimedia mulai bermunculan dengan bumbu marketing dan pangsa pasar.

Ditulis oleh, Ela Fanuristiya. Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Salam Komunikasi!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun