Sebagai penyuka sastra, karya-karya Taufiq Ismail selalu menghadirkan rasa rindu. Baris syairnya kerap panjang membentang, mirip prosa. Diksi yang dipilih bukanlah kata-kata asing yang butuh pemikiran hingga mengernyitkan dahi. Melainkan diksi lumrah yang dipakai dalam keseharian. Sehingga sebagai pembaca tidak terlalu repot mengambil makna dari apa yang ingin ia sampaikan.
Saya melihatnya secara langsung, saat membacakan Puisi Satu Abad Muhammadiyah di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta tahun 2016 silam. Dengan suara khasnya, beliau bersemangat mambacakan puisi yang cukup panjang. Mengulas perjalanan Muhammadiyah satu Abad. Taufiq Ismail terlihat sangat menghayati. Selain sebagai seorang sasterawan, apa yang ditulisaan dan dibacanya merupakan keping sejarang perjalanan hidupnya.
Penyair Taufiq Ismail, merupakan putra dari ulama Muhammadiyah Abdul Ghaffar Ismail. Sempat bersekolah di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Surakarta di zaman Jepang. Taufiq Ismail kemudian menamatkan pendidikan di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Ngupasan Yogyakarta pada zaman revolusi. Kenangan itu ia pahat dalam baris syairnya  yang diberi judul Rasa Syukur dan Doa Bersama.Â
Sebagai keluarga Muhammadiyah, tidak heran jika puisi Taufiq Ismail banyak bernafaskan religi. Puisinya yang lain di antaranya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tuhan Sembilan Senti, London Abad Sembilan Belas, Pegawai Negeri dan lain-lain. Taufiq Ismail juga pintar menulis lirik-lirik lagu, yang sebagian ditembangkan oleh Bimbo.
Penyair kelahiran Bukittinggi 25 Juni 1935 itu memang tak lagi muda. Namun puisinya yang kritis dan mendidik selalu memanggil para penikmatnya untuk membaca ulang tanpa rasa bosan. Budayawan Kuntowijoyo menyebut, Taufik Ismail adalah penyair yang sangat peka dengan sejarah, sebab beliau mengalami sendiri berbagai peristiwa sejarah negeri ini dan terlibat langsung di dalamnya.