Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Skill Mencari Semar, Sampai Metode Menulis yang Ampuh

15 April 2021   04:37 Diperbarui: 15 April 2021   04:40 2013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memang beberapa tokoh desa di Karang Kadempel tidak senang hati dengan Semar. Dari mbah-mbah zaman Orde Lama dan Orde Baru, bapak-bapak zaman reformasi, sampai anak-anak zaman now kenal Semar. Mereka dan bahkan warga yang "difabel" menganggap atau paling tidak memanggil Semar "Ki Lurah". Tingkat elektabilitas Semar yang lebih tinggi daripada tingkat popularitas Lurah yang sebenarnya membuat beberapa orang tidak suka.

Dari gardu ke gardu, dari warung ke warung, Petruk urung menjumpai batang hidung Semar. Beberapa penduduk yang ia tanyai keberadaan Semar hanya mengangkat bahu dan menggeleng. Mereka juga tak merasa Semar pergi dan musti dicari. Mereka tak merasa kehilangan.

Bahkan beberapa penulis Karang kadempel ternama yang dulunya belum bisa apa-apa, boro-boro nulis, baca saja tidak bisa lagi-lagi membuat Petruk diam-diam mengepalkan tinjunya. Sambil cekikikan penulis itu menjawab, "Coba ke Pasar Besar Truk. Kemarin saya menjumpai Semar di lapak penjual akik, eh lebih tepatnya yang berpakaian Dukun sih. Emang gendeng pelapak itu. Semar dijual Truk! Semar Mesem!"

Tentu saja Petruk ingat perjalanan hidupnya dari pribadi bernama Bambang Pecruk Penyukilan yang sakti menjadi pribadi yang mukti bernama Petruk. Kalau ia sampai menjotos orang itu tentu saja Bapak Semar bakal sedih. Dirinya akan gagal meneladani kemulyaan Semar.

Walhasil, Petruk hanya ketawa tanpa hatinya serta dan meneruskan perjalanannya sambil mencari Semar sambil mengenang perjalanan penulis itu sampai begitu terkenal. Sambil tolah-toleh Petruk membandingkan perjalanan penulis tadi dengan perjalanan hidupnya. "Tanpa di-emong Semar barangkali ia dan aku hanya begitu-begitu saja" pikir Petruk.

Ia ingat perjumpaan Semar dengan penulis itu. Mula-mula penulis itu cum jadi pendengar. Suatu kali Semar mengajaknya jalan-jalan. Hanya jalan-jalan -- toleh kiri, toleh kanan. Setelah usai Semar bertanya, "bagaimana?" dan pemuda yang belum jadi penulis itu diam seribu jurus.

"Kamu bingung?" pemuda itu mengangguk.

"Kenapa kamu bingung?"

"Saya cuma jalan tolah-toleh. Ngalor, ngidul, ngetan, ngulon. Tidak jelas. Pak Lurah Semar juga diam saja?"

Semar dan Petruk hanya tertawa.

Rasa penasaran itulah yang membuat pemuda itu keesokannya dan seterusnya menemui Semar guna melakukan hal yang banyak orang anggap sia-sia menghabiskan waktu -- melakukan lelana. Lambat hari, meskipun Semar tak memberitahunya, ia paham bahwa Semar mengajaknya untuk mendengarkan lalu lintas percakapan dunia dan kemacetan batiniahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun