Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mangunwijaya Menonton Soegija: Apa yang Dapat Kita Tonton Juga

4 Juni 2012   05:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:25 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Albertus Soegijapranata

[caption id="" align="alignright" width="228" caption="Albertus Soegijapranata (sumber: Wikipedia)"][/caption]

Pengantar: Suatu Tontonan

Y.B. Mangunwijaya pernah mengeluh atas dokumentasi atau perekaman beberapa episode penting dalam sejarah nasional Indonesia. Sebagai seorang mantan tentara pelajar yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan republik yang baru seumur jagung, Mangunwijaya tahu persis bagaimana sebenarnya episode itu .

“Agaknya Sejarah Gereja Indonesia dan Sejarah Umum Indonesia tidak berbeda nasib sialnya: perekaman suatu kurun waktu yang begitu menentukan, dahsyat namun indah, terbengkelai dan naris tidak diwariskan secara benar kepada generasi muda kemudian,” demikian ia menulis (“Mengenang Seorang Yesuit Gerejawan Besar, Mgr. Soegijopranata”, dalam Harta dan Surga, Kanisius, 1990),. Dahsyat namun indah. Sangat dramatik, penuh melodrama. Walaupun ada orang yang mungkin percaya bahwa Mangunwijaya sedang mendramatisir apa yang dulu pernah dialaminya, tampaknya penggambarannya akan masa-masa itu boleh dikatakan mengena pada kenyataannya.

FilmSoegija” yang akan diputar di bioskop-bioskop boleh dilihat sebagai salah satu upaya menangkap momen-momen yang disebut Mangunwijaya sebagai “dahsyat namun indah”. Di samping tokoh atau karakter Soegija yang menjadi protagonis film ini, latar belakang yang mengelilingi tokoh tersebut juga termasuk “dahsyat namun indah”.

Memfilmkan tokoh dan peristiwa historis sebenarnya gampang-gampang susah—ini menurut saya yang awam dalam hal perfilman. Kesulitan pertama adalah terkait dengan masalah akurasi. Orang bisa bertanya mengenai banyak hal dari suatu film berlatar sejarah: tanggal, dialog, setting, pakaian, makanan, atau bahkan hal-hal yang lebih remeh lagi, seperti asesoris tertentu. Apakah semuanya akurat? Apakah semuanya sesuai dengan kenyataan? Walaupun bagi orang awam hal semacam itu tampak sulit—dan memang kelihatannya memang sulit—namun para insan film tampaknya cukup ketat terkait dengan hal ini. Orang mungkin bisa menemukan 1-2 hal yang tidak pas, tetapi biasanya bukan tanpa alasan.

Namun, kesulitan kedua adalah lebih pada karakter/tokoh atau peristiwa sejarah yang hendak diangkat ke dalam film itu sendiri. Apakah tokoh dan peristiwanya memang tokoh dan peristiwa yang “penting”, “berpengaruh” atau setidaknya “menarik” dalam sejarah terkait? Ini kesulitan yang serius—sekali lagi, setidaknya menurut saya. Bagaimana seorang tokoh dan peristiwa yang “hangat-hangat tahi ayam” atau “suam-suam kuku” harus diangkat ke dalam film layar lebar?

Untuk pertanyaan terakhir itu, kita boleh merasa “aman” dengan film itu karena episode kehidupan Soegija memenuhi kriteria untuk diangkat ke layar lebar. Dijelaskan oleh Mangunwijaya sendiri: “Di tahun-tahun terakhir 1930-an, tidak ada seorang pun mengira bahwa tidak lama kemudian Perang Dunia Kedua dan perang Pasifik akan berkobar” (hlm. 167). Ya, episode kehidupan Soegija sarat dengan momen-momen penting dan berpengaruh bagi masa-masa sesudahnya. Ini adalah momen kairos, Dalam bahasa Yunani, “kairos” (καιρός) berarti “saat yang tepat atau yang benar”, suatu momen yang barangkali hanya datang sekali saja, momen sekali seumur hidup, sekaligus menentukan masa depan selanjutnya.

Kiprah Soegija sebagai seorang uskup mulai ketika republik ini belum berdiri, tepatnya ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Pemerintahan Hindia Belanda ke Kekaisaran Jepang, serta menjelang dan sesudah peristiwa Proklamasi Kemderkaan 1945. Itu adalah masa-masa yang penuh guncangan dalam salah satu episode di negeri ini.

Soegija “ditonton” Mangunwijaya

Mangunwijaya berhasil “menonton” beberapa episode kehidupan Soegija dari berapa segi—Mangunwijaya bukan saja ikut mengalami masa-masa di atas (sebagai tentara pelajar), tetapi ia juga pernah hidup bersinggungan dengan Soegija—antara lain Soegija menjadi dosennya di seminari, menjadi penahbisnya sebagai imam, dan bahkan orang yang menyuruh Mangungwidjaja mengambil jurusan arsitektur (ITB, Bandung, dan Jerman). Jadi, ia tahu persis bagaimana dunia yang dihadapi Soegija serta letup-letup dinamikanya.

Menurut Mangunwidjaja, ada dua “titik api yang sangat gawat yang sekaligus menjadi tugas utama, berat namun mulia” dari Soegija (hlm. 167). Pertama, bagaimana menyelamatkan Gereja dan umat dalam situasi yang porak poranda dan kacau balau dalam suasana perang Pasifik. Menurut Mangunwidjaja, sebagai seorang uskup yang baru—juga sebagai uskup pribumi pertama di seluruh Nusantara dan juga uskup pertama dari suatu keuskupan yang baru dibentuk—tugasnya memang berat. Hampir semua imam dan rohaniwan-rohaniwati ditawan oleh tentara Jepang yang sedang merajalela di Asia Pasifik.

Pada waktu itu, hanya ada empat uskup di seluruh wilayah Nusantara yang masih “bebas”: PJ Willekens di Batavia (Jakarta), H. Leven di Flores, dan “uskup pinjaman” dari Jepang: Yamaguchi, serta tentunya Soegija sendiri. Dua yang pertama praktis tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka adalah warganegara Belanda, sementara Yamaguchi sebagai “uskup pinjaman” juga tidak bisa berbuat banyak. Praktis, hanya Soegijalah yang menangani umat dari Aceh sampai Banyuwangi (ibid).

Menurut Mangunwidjaja, situasi sulit yang dihadapi Soegija ditambah lagi oleh kenyataan betapa minim pengalaman dan sumber daya yang dimiliki oleh laki-laki lahir pada tahun 1896 ini. Umat waktu itu benar-benar belum mandiri sementara para tenaga rohaniwan yang ada pun terbatas—baik jumlah maupun pengalamannya. Di atas kertas, seharusnya Gereja sudah harus hancur (Ibid). Ternyata, hal sebaliknyalah yang terjadi. Walaupun para tenaga rohaniwan yang mendukung Soegija sangat “ingusan”, tetapi “ternyata sangat dewasa dan berjiwa pahlawan yang pantang menyerah karena tahu betapa cinta uskup mereka meneguhkan mereka” (hlm. 168).

Semuanya tidak terlepas dari kearifan Soegija yang sungguh luar biasa. Ia tidak mau berprinsip: “pitik kate wanine mung neng omahe dhewe”, yang secara harfiah berarti: ayam kare cuma berani di kandangnya sendiri. Maksud Mangunwijaya jelas: Soegija bukan seorang yang bermental minder yang hanya berani di kalangannya sendiri (gereja Katolik), tetapi ia berani “keluar”, menyapa orang-orang sebangsanya yang berasal dari agama lain, bersama-sama dengan mereka bahu-membahu menolong rakyat yang tercerai berai akibat hantaman perang.

Titik api kedua adalah—yang masih terkait dengan yang pertama—terkait dengan agenda “internal”. Mangunwijaya melihat Soegija berperan dalam menaikkan semangat nasionalisme umatnya pada waktu itu, sekaligus memberikan bukti kepada warga Indonesia yang tidak menjadi umatnya (baca: bukan warga gereja) bahwa ternyata warga gereja juga bisa sangat nasionalis—rela berkorban demi bangsa dan negaranya. Menurut Mangunwidjaja, Soegija “merasa harus berusaha keras, agar agama Katolik tidak dicap (dan ini mudah sekali kalah itu) sebagai agama orang Barat, orang asing” (hlm. 169). Kejadian yang menimpa beberapa anak buah Soegija membuktikan itu: Sandjaja dan Bouwens menjadi korban kebiadaban sekelompok orang, sementara 33 orang novis, frater, bruder, dan imam sempat “diculik”—walaupun tidak dibunuh. Itu adalah bukti bahwa tugas Soegija pun penting: memberikan pencerahan sekaligus membuktikan kepada dunia di luar gereja bahwa umat yang dipimpinnya bukan hanya bukan musuh, melainkan juga sama-sama rekan seperjuangan, sama-sama anak bangsa yang tanpa pamrih memperjuangkan kemerdekaan, bahkan kalau perlu harus meneteskan darah.

Di dalam melaksanakan perjuangannya, terkait dengan 2 titik api di atas, tidak jarang Soegija harus menjadi semacam corong atau juru bicara, baik bagi umat yang dipimpinnya maupun bagi rekan-rekan sebangsanya. Ia tidak segan menjadi “diplomat” yang ke sana kemari meyakinkan, membujuk, dan melobi siapa saja demi kebaikan semua pihak.

Menonton Heroisme Soegija

Dari semua aspek yang “ditonton” Mangunwijaya di atas, kita tahu mengapa Soegija diangkat menjadi pahlawan nasional: ia benar-benar berjiwa heroik dalam arti yang sesungguhnya, arti yang melekat pada kata itu, yaitu memimpin, memberikan teladan, sekaligus memberikan perlindungan. Menurut Wikipedia, ada beberapa kemungkinan asal kata“hero” (dalam bahasa Indonesia: pahlawan, jagoan). Itu bisa berasal dari kata Yunani, "ρως" yang secara harfiah berarti “pelindung” atau “pembela”. Selain itu, kata itu dianggap pula dari kata Latin servo, yang berarti “to preserve whole”—membela, mempertahankan, menjaga, melindungi keseluruhan. Soegija memenuhi definisi klasik istilah “pahlawan” itu. Jadi, pahlawan tidaklah harus seseorang yang mati di medan pertempuran atau mati syahid alias martir karena membela keyakinan, tetapi pahlawan dalam konteks klasik adalah seseorang yang berdiri bersama orang-orang lemah, melindungi, menjaga dan membela mereka.

Dalam hidup dan diri Soegija, hal itu sangat kelihatan. Itu pula yang berhasil “ditonton” Mangungwidjaja dari pengalaman berinteraksinya dengan Soegija—itu juga yang barangkali diharapkan oleh banyak orang yang mulai tanggal 7 Juni 2012 nanti akan menonton film “Soegija” di bioskop.

Lalu, apa yang ditonton? Heroisme Soegija, suatu heroisme yang sangat dalam, yang sangat membumi. Heroisme yang dipertontonkan Soegija bukanlah heroisme yang mewah dan megah, penuh dengan tindakan “hidup atau mati”—walaupun banyak episode kehidupan Soegija juga memiliki aspek tersebut. Heroisme Soegija adalah heroisme yang entah kita sadari atau tidak kita sadari sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat kita dewasa ini. Suatu heroisme yang berbela rasa dengan orang kecil, para korban, mereka yang tersisihkan, “para aktor/aktris sejati” dalam skenario kehidupan dan perubahan. Heroisme yang memilih bertindak secara nyata di balik layar, di belakang panggung, jauh dari hiruk pikuk popularitas dan intrik-intrik politik serta media massa.

Sama seperti umat atau rakyat pada masa perang Pasifik, masyarakat pada segala tempat dan zaman sering menjadi pelengkap penderita. Mereka tidak lebih cuma menjadi pion-pion atau pemain figuran bagi para “gajah” yang saling berperang di atas. Intinya: siapa pun yang menang dalam suatu pergularan politik atau perang, rakyat selalu kalah. Dalam konteks ini, heroisme yang dipertontonkan Soegija sungguh relevan dan aktual. Kala orang berbincang tentang korupsi, ketika para calon kepala daerah bekampanye, lalu ketika si koruptor berhasil dimasukkan ke bui dan ketika kepala daerah baru terpilih, rakyat kembali ke kehidupan sehari-hari yang serba resah dan gelisah. Mereka tidak pernah menang. Tidak ada yang peduli pada agenda-agenda konkret mereka. Heroisme Soegija adalah heroisme yang turun ke bawah, masuk ke dalam ketakutan dan kegelisahan mereka yang ada di bawah. Dari sanalah tindakan pembebasan dimulai. Dari sanalah perubahan sejati diawali dan dipelopori. Soegija mempertontonkan heroisme yang membumi, nasionalisme yang tulen, dan juga iman yang toleran. Sesuatu yang agak sulit dicari belakangan ini.

Penutup: Menonton dengan Hati yang Toleran

Menonton heroisme semacam itu membutuhkan semacam olah spiritual sendiri. Kita bisa terjebak dengan arah yang keliru dari suatu tindakan “menonton”, misalnya pemujaan masa lalu dan juga kebingungan mencari benang merah suatu tontonan. Mangunwijaya berhasil menonton inti kehidupan Soegija dan membagikannya kepada kita. Mungkin, giliran kitalah yang diminta untuk menonton dan mencari inti sari yang kontekstual dalam kehidupan keseharian kita.

Menonton, dengan demikian, bukan lagi suatu tindakan fisik—walaupun sebenarnya melibatkan fisik juga—melainkan lebih suatu tindakan spiritual dan tindakan kemuridan (discipleship). Kita ditantang untuk menonton dengan mata hati kita. Kegiatan menonton menjadi wahana untuk mengasah nurani dan kepekaan kita. Sama seperti Mangunwijaya yang berhasil mengambil manfaat dari apa yang ditonton, kita juga ditantang untuk berbagi spiritualitas yang sama dari Soegija. Kita ditantang untuk menonton dengan hati yang terbuka dan selalu rendah hati, dengan sikap yang siap berbela rasa dengan semua orang, termasuk yang barangkali tidak suka dengan film yang kita tonton. Itu baru namanya menonton dengan hati yang toleran.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun