Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beatles and Me: Sebuah Dialog di Kaki Gunung Merapi

11 November 2010   01:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:42 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1289437783302043819

[caption id="attachment_72383" align="aligncenter" width="300" caption="John, Paul, George, Ringo, and Me"][/caption]

Album Baru

Februari 1966. Awalnya, mereka berempat mengontakku untuk mencari lokasi di Indonesia sebagai tempat menuntaskan album anyar mereka, yaitu album ketujuh. Aku agak surprise dengan kontak yang mendadak sontak ini. Album-album mereka sebelum ini biasanya cukup digodok dalam reriuhan kota London, terutama di jalan Abbey Road, depan studio EMI, tempat mereka biasa merekam lagu-lagu mereka.

Kali ini, rupanya mereka hendak membuat terobosan. “Kami ingin yang lebih spiritual dan eksoktik,” ujar George yang jawabannya seolah sudah dapat ditebak.

“Lho, bagaimana dengan India, George,” tanyaku penuh selidik. George punya ikatan kimiawi yang aneh dengan India.

“Dia mau coba yang baru,” timpal Ringo dengan wajah mesem.

“Tepatnya, India ada dalam daftar berikut kami. Tapi, lebih jauh ke timur dan lebih ke atas, tampaknya cocok untuk proyek kami,” kini Paul yang angkat bicara. Ia selalu bertugas sebagai juru bicara yang “normal” bagi grup asal Liverpool, Inggris, ini.

Mendengar penjelasan John mengenai beberapa nomor lagu yang sedang mereka garap, aku mengusulkan agarmereka menyusulku yang sedang kondangan di rumah Mbah Gino, di suatu tempat di kecamatan Ngemplak, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di daerah yang berjarak sekitar 17 km dari puncak Merapi ini, Mbah Gino sedang mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda dari Kecamatan Berbah—juga masih di Sleman.

Awalnya, aku ingin meminta mereka berinteraksi dengan beberapa “warga” di Rumah Sakit Jiwa, Pakem. Namun, aku khawatir, kreativitas orang-orang dari Liverpool ini justru akan membuat orang yakin 100% bahwa mereka seharusnya memang cocok masuk ke rumah sakit jiwa tersebut.

Ngemplak, Sleman, DIY

Akhirnya, kuajak mereka untuk hadir di pesta perkawinan Mbah Gino. Hitung-hitung, siapa tahu mereka mendapatkan “sesuatu” dari acara kondangan kampung ini: selain suguhan yang tidak pernah mereka santap di London atau Liverpool, mereka dapat menghirup bebauan alami yang dikeluarkan Gunung Merapi. Kecamatan Ngemplak diapit oleh kabupaten Klaten di sebelah timur, kecamatan Cangkringan dan Pakem (juga kabupaten Sleman) di sebelah utara dan barat, dan kecamatan Ngaglik, Kalasan, dan Prambanan di sebelah selatan (semuanya berada di kabupaten Sleman).

“Boleh juga,” ujar John sesampainya kami di lapangan, samping rumah besar Mbah Gino. Waktu itu, hari sudah menjelang sore. Resepsi ala kampung memang tidak membutuhkan ruang besar—setidaknya warga 1 desa bisa ikut makan bareng dan menyaksikan acara jathilan.

“Pemandangan yang menarik. Bahkan kehidupan yang menarik pula. Jika Charles Dickens ada di sini, tentu ia bisa menulis tentang kehidupan sosial di sini.”

“Dickens?” tanyaku. “Anda membacanya juga.” Ia mengangguk sambil berkata pelan: “Kadang-kadang.” Tak kusangka John senang juga membaca Dickens. Sebenarnya, kupikir, ia lebih cocok membaca Tolkien, karena lebih kaya fantasi (suatu karakter yang melekat kuat pada seorang John Lennon). Charles Dickens menurutku terlalu riil—penuh dengan gambaran London yang jorok, berdebu, dan berkabut.

“Eh…mungkin Anda—kalian semua—justru bisa menulis suatu lagu setelah melihat keadaan di sini,” aku berkata tidak yakin. George tersenyum lebar.

“Gunung apa itu?” Paul McCartney bertanya, sambil menunjuk Merapi yang sedang tertidur. Anggun. Sombong. Kami waktu itu sudah menghabiskan masing-masing sepiring nasi dengan ayam goreng—entah atas ide siapa Mbah Gino memasak menu ini (apa dia pikir semua orang Inggris doyan makan ayam goreng?).

“Merapi,” jawabku.

John, Paul, George, dan Ringo menatap takjub pada gunung itu yang tampak samar-samar menjelang gelap. Ada semacam asap putih—atau entah apa—keluar dari mulut kawahnya.

Merapi dan Mitos-mitosnya

Seorang kerabat Mbah Gino—kalau tidak salah, namanya Soepriatno—menjelaskan bahwa Merapi adalah gunung yang aktif dan menjadi salah satu gunung yang cukup sering meletus di Indonesia. Keempat orang dari Liverpool itu tampak tertarik. Mereka banyak bertanya dan memberikan komentar atas penjelasan Soepri.

Fenomena juru kunci gunung Merapi termasuk membingungkan mereka berempat. “Juru kunci?” tanya George yang agak bingung. Soepri menjelaskan bahwa semua tempat di Jawa—yang keramat—pasti punya juru kunci. “Itu semacam avatar,” kataku mencoba membantu (entah terbantu atau tidak—atau mungkin malah ngawur). “Itu semacam perantara antara tempat itu—terutama ‘penunggu atau penguasanya’—dengan dunia luar.”

George mengangguk-angguk—merenung dan tepekur, sementara Ringo terbatuk-batuk, barangkali sisa tulang ayam yang baru disantapnya tadi. Sementara itu, keramaian resepsi Mbah Gino sudah agak berkurang memasuki magrib. Desa yang belum dialiri listrik seolah berangkat memasuki peraduannya.

Namun, pembicaraan kami makin menghangat. Setelah Soepri—seolah seperti tour guide kami—membeberkan “rahasia” Merapi dan mitos-mitosnya, para Beatle tampak seperti terpancing—tepatnya mendapat wangsit yang mereka butuhkan untuk album mereka—dengan berinteraksi lebih intensif lewat pertanyaan dan komentar-komentar yang tak kalah filosofisnya.

John bahkan punya pandangan yang lebih “mendalam” terkait fenomena kepercayaan terhadap Mbah Petruk. Menurutnya, apa yang penting adalah: bukan masalah percaya atau tidak percaya, melainkan masalah bagaimana kita bereaksi terhadap apa yang kita percayai dan tidak kita percayai. Orang yang tidak percaya dapat bereaksi salah atau juga bereaksi benar terhadap kepercayaannya itu. Begitu juga dengan mereka yang percaya.

“Katakanlah, orang tidak percaya, lalu what next?” katanya sambil memainkan jari-jarinya seperti sedang memetik gitar. “Mereka yang tidak percaya bisa saja bertindak salah dengan mengabaikan kearifan lokal dalam setiap aksi pasca-bencana gagal menampung aspirasi lokal terkait relasi antara manusia, tanah, dan budayanya di sini.”

Paul yang sedari tadi cuma mendengar John berceloteh—sambil sesekali matanya menatap puncak Merapi yang tampak berwibawa—berkomentar tajam: “Lalu, kalau yang percaya tapi bertindak salah adalah seperti tenggelam dalam mistisisme?”

“Bisa begitu, bisa juga tidak. Mistisisme sebenarnya adalah semacam religiositas asli dari penduduk setempat yang ditambah dari unsur-unsur lain. Mistisisme yang asli selalu mereformasi para penganutnya, tidak selalu memenjarakannya dalam kabut masa lalu,” John merespons sambil mencari-cari apa yang sebenarnya sedang dilihat Paul di puncak Merapi.

“Kebetulan, saya sedang membaca The Tibetan Book of Dead,” cetus John, seolah menemukan apa yang sedang dilihat Paul di atas Merapi. “Aneh, saya seperti menemukan sesuatu yang menyodok benak saya ketika melihat gunung itu dan apa yang baru saya baca. Sepertinya ada sesuatu yang muncul dari…”

“Gunung Merapi itu?” sambar Paul.

“Bukan. Bukan Merapi, bukan gunung. Tapi, sesuatu yang begitu saja muncul terkait dengan misteri gunung ini dan buku yang kubaca tadi,” John berupaya menjelaskan kepada rekannya itu. “Kan biasa ketika kau melihat atau membaca sesuatu tiba-tiba muncul sesuatu yang tidak secara langsung terkait dengan apa yang kau lihat dan kau baca. Apa yang kau lihat dan k au baca hanyalah pemicunya, walaupun ada simbolisme yang mirip.”

“Ya, itu dia inti dari mistisisme…” celetuk George. “Aku tahu inti buku itu: suatu pengalaman dekat dengan kematian, suatu pengalaman di ‘perbatasan’. Buku itu sendiri hanya dapat ‘dibaca’ oleh mata batin, sesuatu muncul melalui pengalaman khusus. “ John menatapnya seolah tidak yakin—entah apakah memang itu yang dimaksudnya.

Aku yang mendengar celetukan George sepenuhnya sepakat. Soepri pun begitu. Orang yang terakhir ini seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi menarik kembali kata-kata yang sepertinya sudah ada di ujung lidah. Ia diam membisu sambil menatap Merapi dan hutan yang tampak samar melingkari gunung itu seperti para dayang-dayang yang mengelilingi seorang Putri.

Gambaran Mbah Petruk dan semua yang terkait dengan Merapi seolah berputar di kepalanya. Soepri seolah mendengar ada yang suatu tembang—entah muncul dari mana:

Turn off your mind

Relax and float downstream

It is not dying

It is not dying

Lay down all thoughts

Surrender to the void

It is shining

It is shining…”

Bukan seperti tembang mocopat yang biasa didengarnya. Tapi pesannya tidak terlalu asing untuk telinganya…

Eksploitasi dan Partisipasi

Soepri mengatakan bahwa Merapi dan fenomenanya sering dieksploitasi—entah oleh media massa atau oleh para “petinggi”. Media massa bisa saja mengeksploitasi ketika terjadi bencana dengan mendramatisi bencana atau membesar-besarkan isu yang tidak jelas, sementara “petinggi” sering mengeksploitasi Merapi dengan berkedok “mengelola dan mengolahnya”. Di Merapi, semuanya bisa dijual (tanah, pohon, makanan, bahkan pemandangannya). Bagi mereka yang bermodal besar, semuanya dapat dikelola “demi rakyat sekitar Merapi”.

“Tragis,” tutur John. “Ini seperti lirik lagu saya: I’m a Loser. Tentu, saya menuliskannya dalam konteks lain. ” Ia terbatuk-batuk sedikit sembari menatap tajam bergantian ke arah mataku dan mata Soepri—seolah-olah mencari bukti apakah kami memahami lirik lagunya tersebut.

“Di Inggris, kami para rocker juga sering menjadi objek eksploitasi,” tutur Ringo sambil mengedipkan mata. “Kadang kala, kami tidak seberapa menggunakan kokain, tetapi mereka ribut setengah mati. Dan toh, mereka juga yang untung dengan hasil pemberitaan itu.”

“Itu, beda,” timpal Paul. “Para rocker toh mendapat untung juga, yaitu popularitas mereka naik karena berita-berita tersebut. Itu adalah eksploitasi yang membawa nikmat.” Ringo, yang “disanggah” oleh Paul, menunjukkan raut wajah tidak suka.

Sebelum ia mengomel, George memotong: “Mungkin filosofi timur lebih tepat ketimbang filosofi barat jika menjadi sudut pandang media massa atau pendekatan yang dilakukan pejabat terhadap daerah seperti Merapi ini.” Ketiga temannya—dan juga Soepris serta aku—mencoba menyimak.

“Filosofi barat sering menggunakan pendekatan objek-subjek, subjek yang terarah pada objek. Subjek mengambil jarak dari semuanya, bahkan dari subjek yang lain. Ada bahaya, subjek yang lain pun menjadi objek. Akibatnya, baik sadar maupun tidak, kesadaran subjek ke objek ini bersifat eksploitatif.” Tenang. Kami semua mendengarkan Georgesambil menatap Merapi yang tampak biru di kejauhan.

“Beda dengan filosofi timur, di mana subjek menyatu dengan alam, merasa menjadi bagian dari alam,” tutur gitaris Beatles itu. “Media massa dan para pejabat tidak memahami ini, barangkali. Warga Merapi mungkin mencoba menyatu dengan Merapi, sementara media massa dan para pejabat mencoba mengambil untung dan melihat apakah ada output pada ujung penglihatan mereka. Warga mencoba berpartisipasi dalam alam tempat mereka hidup, sementara orang lain mencoba mengeksploitasinya, entah ketika Merapi sedang tenang atau ketika sedang meletus.”

“Barangkali, saya akan mencoba menuliskan hal ini dalam album kami berikut. Kebetulan, saya sedang mendalami filosofi timur, tepatnya India. Ada beberapa kesamaan menarik antara cara berpikir India dan cara berpikir di sini. Semuanya mengalir di luar dan di dalam kita semua: Life flows on within you and without you…”

Akhirulkalam

Tak terasa, hampir 2 jam kami mengobrol. Selepas magrib, kami pamit pada Mbah Gino. Dengan gigi emasnya, Mbah Gino tersenyum melepas kami, sambil tidak lupa untuk mengundang kami—terutama empat teman kami dari Inggris itu—untuk datang kembali. Dia mohon maaf jika suguhannya tidak berkenan dan juga musiknya terlalu hingar-bingar—sesuatu yang oleh John ditimpali: “No, sir. Everything is good and excellent. Tidak ada yang tidak enak dan hingar-bingar. You and your people are nice persons I’ve ever met.” Basa-basi ala Inggris itu tetap sulit dipahami orang Jawa seperti Mbah Gino—walaupun ketulusan orang luar biasanya tetap mudah dibaca dan diapresiasi.

Paul pun tersenyum dan berujar: “Jelas, ini pengalaman dan perbincangan yang menarik. Banyak hal yang kami temui di sini. Entah dengan tiga teman saya ini, tetapi saya mendapatkan beberapa ide untuk album kami yang baru.”

Me too…!” timpal John. George dan Ringo pun mengangguk setuju. Tampaknya, album baru mereka—yang kalau tidak salah bertajuk “Revolver”—akan menjadi sesuatu yang berbeda dari album-album mereka sebelumnya.

Sebelum berpisah, kami menyempatkan diri untuk berfoto di samping salah satu bangunan gedhe di situ (mungkin rumah orang paling kaya sekecamatan Ngemplak)—dan itulah satu-satunya fotoku dengan The Beatles (tidak lupa mereka mengenakan blangkon yang dipinjamkan oleh beberapa para among tamu acara resepsi perkawinan putrid Mbah Gino). Setelah “sesi foto” selesai, kami menumpang sebuah mobil kol yang akan membawa kami kea rah jalan Kaliurang, dan setelah itu meluncur ke arah kota Yogya.

Di tengah rintik hujan yang mulai turun dan kegelapan malam yang menyeruak, sedikit terdengar John bergumam:

Please don’t wake me,

No, don’t shake me.

Leave me where I am,

I’m only sleeping…”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun