Mohon tunggu...
Eko Ernada
Eko Ernada Mohon Tunggu... Kolumsi dan Aktifis Sosial, Politik dan Lingkungan

Dosen, Penulis, dan Pencari Makna dalam Setiap Pembelajaran Di tengah dinamika dunia yang terus berubah, saya berusaha menemukan makna dalam setiap ilmu yang saya ajarkan dan tulis. Sebagai pendidik di Universitas Jember, saya meyakini bahwa pengetahuan adalah cahaya yang harus dibagikan, bukan hanya diajarkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nadiem dan Paradoks Birokrasi

6 September 2025   00:12 Diperbarui: 6 September 2025   00:12 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paradoks Birokrasi dan Korupsi: Ketika Inovasi Terkendala Sistem yang Menghambat: Ilustrasi oleh Eko Ernada, dibuat dengan DALL*E

Nama Nadiem Makarim dulu dielu-elukan sebagai wajah baru Indonesia. Seorang anak muda lulusan Harvard yang berani pulang ke tanah air, mendirikan Gojek, lalu menembus dunia global. Ia tampil sebagai simbol lahirnya generasi baru: lincah, inovatif, digital, jauh dari pola usang birokrasi yang lamban. Maka ketika ia dipanggil Presiden untuk duduk di kursi menteri, banyak yang bersorak. Ada harapan: darah segar startup akan mengalir ke nadi pemerintahan.

Namun hidup kerap memperlihatkan kontras yang getir. Sosok yang dulu dielu-elukan kini terseret ke pusaran yang sama dengan banyak pejabat lain: tuduhan korupsi. Ia bukan lagi dipandang sebagai ikon transformasi, melainkan bagian dari babad panjang kekecewaan bangsa. Dari simpati, lahir kecewa. Dari rasa bangga, muncul getir. Publik pun bertanya-tanya, bagaimana mungkin sosok yang pernah dijadikan simbol keberhasilan digital justru berubah jadi tersangka?

Sebagai menteri, Nadiem memang berani mengguncang kebiasaan lama. Ujian Nasional dihapus, diganti dengan asesmen kompetensi. Konsep Merdeka Belajar diperkenalkan, seolah memberi napas baru pada pendidikan yang lama kaku. Ia juga mendorong digitalisasi sekolah: laptop dan Chromebook didistribusikan, teknologi digenjot, seakan-akan masa depan sudah di depan mata. Tetapi seperti banyak kisah di negeri ini, antara ide dan realisasi ada jurang lebar. Infrastruktur tak merata, kesiapan guru beragam, dan akhirnya, pengadaan yang kini dipersoalkan.

Dalam perjalanan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tantangan terbesar yang ia hadapi bukan hanya soal perubahan paradigma pendidikan, tetapi juga bagaimana menavigasi dunia birokrasi yang telah terstruktur selama bertahun-tahun. Ketika ia memperkenalkan Merdeka Belajar, banyak yang merasa ini adalah langkah revolusioner, sebuah terobosan yang menyuarakan kebebasan dalam belajar dan mengajar. Namun, di sisi lain, implementasi kebijakan tersebut ternyata memerlukan penyesuaian besar, baik dari segi anggaran, infrastruktur, maupun kesiapan para pendidik. Pembaruan yang semula diharapkan membawa angin segar, justru terkadang terhambat oleh lambannya birokrasi yang ada.

Kasus korupsi ini, meski harus dibuktikan secara hukum, menyiratkan pentingnya pengawasan ketat terhadap setiap kebijakan yang dijalankan. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa sering kali muncul karena ada celah yang tidak tertutup, di mana kebutuhan masyarakat yang sebenarnya sangat mendesak justru dihambat oleh praktik-praktik yang merugikan. Dalam hal ini, sistem digital yang awalnya berfungsi untuk mempermudah, malah menjadi bagian dari masalah ketika tidak didukung dengan transparansi dan akuntabilitas.

Di sinilah paradoks itu tajam terasa. Apakah program digitalisasi itu lahir dari niat murni, atau ada niat jahat yang tersembunyi? Hukum menyebutnya mens rea---niat batin untuk menyalahgunakan. Tanpa niat itu, kegagalan atau salah urus bukanlah korupsi, melainkan kelemahan sistem. Pertanyaan inilah yang kini menggantung di benak publik: apakah Nadiem sekadar tersandung realitas birokrasi, atau sungguh terlibat dalam permainan anggaran?

Bagi sebagian orang, kasus ini menimbulkan rasa kecewa yang sulit dihindari. Nadiem pernah dipandang sebagai representasi generasi muda yang mampu menembus dunia digital, sosok yang dianggap membuktikan bahwa anak bangsa bisa melahirkan inovasi kelas dunia. Namun bagi yang lain, rasa kecewa itu bercampur dengan simpati, atau bahkan skeptisisme sejak awal. Reaksi publik pun beragam---ada yang merasa dikhianati, ada yang masih menunggu pembuktian hukum, ada pula yang melihatnya sebagai pelajaran pahit dari rapuhnya tata kelola birokrasi.

Kasus ini sekaligus menjadi refleksi bagi generasi muda. Bahwa masuk ke dalam birokrasi bukan sekadar soal membawa gagasan segar, melainkan juga soal menjaga integritas di tengah sistem yang kompleks. Visi tanpa moralitas akan runtuh; integritas tanpa kecermatan akan tergelincir. Generasi muda Indonesia yang bercita-cita ikut membangun negeri harus belajar dari peristiwa ini: inovasi memang penting, tetapi keberanian menjaga nilai dan transparansi jauh lebih krusial.

Karena itu, penegakan hukum atas kasus ini harus benar-benar lurus, transparan, dan adil. Jika memang terbukti ada niat jahat, hukum wajib tegas tanpa pandang bulu. Namun jika ternyata masalah terletak pada kelemahan sistem birokrasi, nama baik harus dipulihkan agar tidak lahir vonis moral yang keliru. Publik berhak mendapatkan kepastian, apakah ini kisah tentang seorang reformis yang jatuh karena khianat, atau sekadar visi besar yang tersandung realitas keras birokrasi.

Sistem birokrasi yang ada di Indonesia sudah begitu kokoh, bahkan bagi mereka yang datang dengan niat untuk memperbaikinya. Setiap kebijakan baru, meskipun didorong oleh visi yang inovatif, sering kali terhambat oleh birokrasi yang rumit dan kendala sumber daya. Digitalisasi pendidikan yang dipromosikan Nadiem sempat menjadi simbol harapan bagi banyak pihak, namun pada akhirnya, program ini harus menghadapi kenyataan bahwa bukan hanya teknologi yang perlu diperbarui, tetapi juga cara sistem bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun