Mohon tunggu...
Eko Ernada
Eko Ernada Mohon Tunggu... Kolumsi dan Aktifis Sosial, Politik dan Lingkungan

Dosen, Penulis, dan Pencari Makna dalam Setiap Pembelajaran Di tengah dinamika dunia yang terus berubah, saya berusaha menemukan makna dalam setiap ilmu yang saya ajarkan dan tulis. Sebagai pendidik di Universitas Jember, saya meyakini bahwa pengetahuan adalah cahaya yang harus dibagikan, bukan hanya diajarkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tatanan Bari XI: Multilateral atau Hegemoni Baru

3 September 2025   21:41 Diperbarui: 4 September 2025   12:10 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persimpangan antara multilateralisme dan hegemoni geopolitik baru, dengan bendera China sebagai simbol pengaruh global. Ilustrasi dibuat dengan bantua

Pernyataan Presiden Xi Jinping dalam KTT Shanghai Cooperation Organization (SCO), yang mengusulkan tatanan global baru yang lebih inklusif dan menekankan prinsip multilateralisme, seketika memicu perbincangan luas di kancah internasional. Di tengah ketegangan geopolitik yang semakin tajam, di mana negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa cenderung mendominasi pengambilan keputusan global, Xi menawarkan alternatif: mengurangi ketergantungan pada satu kekuatan besar dan menciptakan sistem internasional yang lebih berimbang. Visi Xi ini, yang memberi lebih banyak ruang bagi negara-negara berkembang dan mengutamakan kesejahteraan manusia, tampaknya menyentuh harapan banyak pihak. Namun, di balik retorika yang mulia, apakah tatanan global yang diusulkan benar-benar dapat menciptakan dunia yang lebih adil, ataukah justru menyembunyikan sebuah bentuk hegemonisasi baru yang lebih halus?

Sungguh, gagasan Xi mengenai multilateralisme menawarkan sebuah janji perubahan dalam tatanan dunia yang telah lama didominasi oleh negara-negara besar. Sistem internasional saat ini terlalu sering mengabaikan kepentingan negara-negara kecil dan berkembang, yang suaranya seringkali tenggelam di balik kekuatan ekonomi dan politik negara besar. Dengan menekankan multilateralisme, Xi membuka kemungkinan bagi negara-negara berkembang untuk lebih berperan dalam pembuatan keputusan global yang berdampak luas. Dalam hal ini, gagasan Xi memberikan harapan akan dunia yang lebih inklusif, yang tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi negara besar, tetapi juga mengedepankan kesejahteraan manusia, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Namun, meskipun ide ini terdengar menggugah, pertanyaannya adalah: apakah Xi dan negara besar lainnya benar-benar siap untuk berbagi kekuasaan secara adil? Atau, apakah multilateralisme ini hanyalah strategi diplomatik untuk mengukuhkan dominasi mereka dengan cara yang lebih terselubung? China, meskipun mengkritik dominasi negara besar lainnya, sebenarnya memiliki ambisi geopolitik yang sangat besar. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, China tidak dapat dipisahkan dari kepentingan strategis yang kuat untuk memperluas pengaruhnya, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa.

Proyek-proyek besar seperti Belt and Road Initiative (BRI), yang digagas oleh Xi, menjadi contoh nyata bagaimana China berusaha memperluas pengaruh globalnya. BRI sering dipandang sebagai inisiatif pembangunan infrastruktur yang menawarkan peluang bagi negara-negara berkembang. Namun, di balik tawaran investasi ini, muncul kekhawatiran bahwa proyek ini justru meningkatkan ketergantungan negara-negara penerima terhadap China. Negara-negara yang terlibat dalam BRI sering kali terjebak dalam hutang yang besar, yang pada akhirnya memberi China kontrol lebih besar terhadap kebijakan ekonomi dan politik mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah inisiatif seperti BRI benar-benar berfungsi untuk menciptakan dunia yang lebih adil, ataukah justru memperburuk ketergantungan negara-negara berkembang dan memperkuat dominasi China?

Penting untuk diingat bahwa dalam dunia yang semakin terhubung ini, proyek-proyek besar seperti BRI lebih dari sekadar soal pembangunan infrastruktur. Mereka merupakan alat yang digunakan untuk meneguhkan posisi dominan China dalam politik global. Meskipun Xi mengusung prinsip multilateralisme, kenyataan menunjukkan bahwa China, dengan kekuatan ekonominya yang besar, tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mempengaruhi arah kebijakan global. Dunia yang tampaknya lebih inklusif melalui multilateralisme ini, pada akhirnya, bisa jadi hanya akan menguntungkan negara besar, dengan China tetap memainkan peran sentral di dalamnya.

Memang, meskipun ide Xi tentang dunia yang lebih adil dan seimbang sangat menggugah, tantangan besar terletak pada implementasinya. Keberhasilan tatanan dunia yang lebih adil tidak hanya bergantung pada perubahan struktur organisasi internasional, tetapi juga pada kesediaan negara-negara besar untuk berbagi kekuasaan dengan negara-negara kecil. Negara-negara besar, termasuk China, selalu memiliki kepentingan nasional yang kuat untuk dipertahankan, baik dalam bidang ekonomi, militer, maupun diplomasi. Mengurangi pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan global adalah hal yang sangat sulit dilakukan, terutama ketika kepentingan nasional mereka sangat terikat pada kebijakan luar negeri yang melayani tujuan strategis mereka.

Realitas internasional sering kali menunjukkan bahwa negara besar lebih cenderung bertindak berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Ambisi geopolitik negara-negara besar ini sering kali menghambat terwujudnya tatanan dunia yang lebih adil. Meski Xi menyerukan untuk mengurangi dominasi negara besar, kebijakan luar negeri China yang lebih agresif di Laut Cina Selatan dan pendekatannya terhadap Taiwan dan Hong Kong menunjukkan bahwa China tetap memprioritaskan kepentingan nasionalnya, meskipun secara verbal mereka mendukung prinsip multilateralisme. Dalam prakteknya, meskipun Xi berusaha memperkenalkan dunia yang lebih adil, negara besar akan terus menjaga kekuasaan mereka, bahkan dalam sistem yang mengklaim berbagi kekuasaan secara kolektif.

Tatanan global yang lebih adil dan inklusif hanya akan terwujud jika negara-negara besar benar-benar bersedia untuk berbagi kekuasaan secara sejati. Namun, kenyataannya, negara-negara besar tidak mudah melepaskan kontrol mereka atas sistem internasional yang sudah menguntungkan mereka. Untuk itu, meskipun Xi mempromosikan prinsip multilateralisme, tantangan besar tetap ada dalam mewujudkan tatanan ini, terutama dalam hal bagaimana negara-negara besar akan berbagi kekuasaan dan mengatasi kepentingan geopolitik mereka.

Selain itu, kita tidak bisa melupakan peran negara-negara berkembang dalam tatanan global ini. Meskipun Xi berupaya memberi lebih banyak ruang bagi negara-negara berkembang untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan internasional, kenyataannya, banyak dari negara-negara ini yang terperangkap dalam ketergantungan ekonomi dan politik yang mendalam. Negara-negara berkembang sering kali lebih terfokus pada penyelesaian masalah domestik mereka, seperti kemiskinan dan ketidaksetaraan, yang membatasi kemampuan mereka untuk berkontribusi dalam perubahan global. Dengan kata lain, meskipun mereka diberi lebih banyak kesempatan dalam forum multilateral, peran mereka dalam praktek tetap terbatas oleh ketergantungan pada negara besar yang menyediakan bantuan dan investasi.

Pada akhirnya, meskipun gagasan Xi tentang dunia yang lebih inklusif dan adil menawarkan harapan baru, realitas geopolitik yang ada mengindikasikan bahwa perubahan ini tidak akan mudah terwujud. Negara-negara besar, meskipun mengklaim mendukung multilateralisme, tetap memprioritaskan kepentingan nasional mereka yang sering kali bertentangan dengan prinsip keadilan global. Xi, dalam hal ini, mungkin hanya mengganti satu bentuk dominasi dengan yang lebih terselubung, dan dunia tetap terperangkap dalam pola ketimpangan yang telah ada selama ini.

Dunia memang membutuhkan perubahan---perubahan yang tidak hanya berupa retorika, tetapi tindakan nyata yang mengutamakan kesejahteraan bersama di atas kepentingan sempit negara-negara besar. Tanpa komitmen nyata dari negara besar untuk berbagi kekuasaan dan mengurangi dominasi mereka, tatanan global yang lebih adil ini akan tetap menjadi sebuah utopia. Hanya waktu yang akan membuktikan apakah tatanan dunia yang diusulkan Xi akan mengarah pada dunia yang lebih inklusif, atau justru memperkokoh dominasi baru yang lebih terselubung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun