Kebangsaan Indonesia harus dibayangkan ulang, bukan dalam kerangka homogenitas, tetapi keterbukaan. Demokrasi tidak akan bertahan jika hanya diisi oleh suara-suara yang disetujui mayoritas. Demokrasi sejati adalah ketika suara yang tidak nyaman, yang menantang norma lama, juga memiliki tempat untuk berbicara dan didengarkan.
Pertarungan antara Trump dan Mamdani bukan sekadar kisah politik Amerika. Ia adalah metafora dari krisis demokrasi global---dan juga ujian bagi Indonesia. Pertanyaannya kini bukan hanya siapa yang akan menang dalam pemilu, tetapi siapa yang diizinkan untuk mewakili "kita." Siapa yang diberi ruang untuk menyuarakan keadilan, dan siapa yang dibungkam karena identitasnya dianggap mengganggu tatanan?
Jika demokrasi ingin tetap menjadi proyek bersama yang hidup dan bermakna, maka definisi "rakyat" harus terus diperluas, bukan disempitkan. Demokrasi bukan milik identitas mayoritas, tetapi milik semua yang ingin ikut serta dalam perjuangan kolektif. Seperti yang diperjuangkan Mamdani, menjadi bagian dari bangsa bukan soal darah atau warisan budaya, tetapi keberanian untuk berpartisipasi, bersuara, dan berjuang bersama.
Dalam zaman ketika eksklusivisme tampil seolah-olah sebagai patriotisme, keberanian untuk merayakan keberagaman adalah bentuk baru dari kebajikan politik. Indonesia punya potensi untuk menjadi teladan, bukan dengan meniru model luar, tetapi dengan kembali menggali spirit inklusif dari fondasi kebangsaannya sendiri.
#Belajar Merunduk#
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI