Ketika Presiden Donald Trump pada Juni 2025 mengancam akan memotong dana federal untuk New York City karena keberadaan Zohran Mamdani---anggota dewan kota, Muslim, demokrat sosialis, dan anak imigran---ia sedang menyalakan kembali api lama dalam politik Amerika: pertarungan ideologis tentang siapa yang dianggap sebagai bagian dari "rakyat," dan siapa yang tetap diposisikan sebagai "orang lain" dalam narasi kebangsaan. Apa yang tampak sebagai provokasi elektoral ternyata merupakan ekspresi dari logika populisme eksklusif yang belakangan menguat di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Trump dan Mamdani mewakili dua wajah populisme yang saling berseberangan. Trump memperlihatkan apa yang disebut Chantal Mouffe (2018) sebagai populisme kanan, yaitu mobilisasi politik berdasarkan identitas homogen yang mengusung logika "kami versus mereka." Dalam populisme tipe ini, "rakyat" tidak dimaknai secara politis sebagai entitas plural, melainkan secara kultural---putih, Kristen, patriotik---dan karena itu harus dilindungi dari kontaminasi identitas lain seperti imigran, Muslim, atau kelompok kiri.
Sebaliknya, Mamdani menampilkan wajah populisme kiri yang dirumuskan Ernesto Laclau (2005) sebagai artikulasi hegemonik dari berbagai tuntutan sosial yang tertindas ke dalam suatu blok politik alternatif. Ia tidak membentuk musuh berbasis identitas, melainkan mempersoalkan struktur ketimpangan sosial-ekonomi yang merugikan banyak warga, tanpa memandang ras, agama, atau asal-usul. Dalam logika ini, rakyat adalah produk dari perjuangan bersama, bukan dari kesamaan budaya.
Konflik simbolik antara Trump dan Mamdani bukan hanya soal perbedaan kebijakan. Ini adalah kontestasi makna kewarganegaraan dan kebangsaan. Trumpisme mereduksi bangsa menjadi komunitas warisan---diturunkan secara etnokultural. Sementara Mamdani memperjuangkan bangsa sebagai proyek politik bersama---diperjuangkan secara inklusif dan terbuka.
Yang menarik, populisme eksklusif bukan fenomena yang hanya terjadi di Amerika. Ia merupakan bagian dari tren global pasca-krisis 2008, di mana kekecewaan terhadap liberalisme ekonomi dikapitalisasi oleh politisi dengan menyasar identitas sebagai medan pertarungan. Dalam konteks ini, keberagaman bukan lagi dilihat sebagai kekayaan sosial, tetapi sebagai ancaman terhadap "kemurnian" nasional.
Indonesia pun tidak imun dari gelombang ini. Meski sejak Reformasi 1998 kita mengalami pelebaran ruang demokrasi melalui pemilu langsung, desentralisasi, dan kebebasan pers, dalam dua dekade terakhir kita juga menyaksikan gejala kian sempitnya ruang representasi. Politik identitas---terutama berbasis agama dan etnis---kembali menguat dalam berbagai kontestasi politik. Dalam Pilkada DKI 2017, misalnya, sentimen keagamaan dan rasial digunakan untuk mereduksi legitimasi lawan politik. Hal yang sama juga tampak dalam narasi kampanye pada Pemilu 2019 dan 2024.
Retorika seperti "pribumi vs non-pribumi," "anti-NKRI," atau "kita vs asing" memperlihatkan bahwa batas-batas eksklusif kebangsaan tetap digunakan untuk menentukan siapa yang sah berbicara atas nama rakyat. Dalam kondisi ini, politik kehilangan substansi deliberatifnya. Perdebatan soal kebijakan tenggelam dalam pertarungan soal identitas. Seperti ditunjukkan Wendy Brown (2015), inilah bentuk "pengosongan demokrasi"---ketika institusi demokrasi tetap berdiri secara prosedural, tetapi maknanya telah dikooptasi oleh logika eksklusi.
Padahal, sejarah Indonesia menunjukkan bahwa kebangsaan kita sejak awal dibangun di atas fondasi inklusivitas. Para pendiri bangsa tidak mendefinisikan Indonesia sebagai negara etnis atau agama, melainkan sebagai kesatuan politik dari keragaman. Sumpah Pemuda 1928 dan pembentukan Pancasila merupakan konsensus politik untuk menghindari dominasi identitas tunggal. Namun, konsensus ini kini mulai tergerus oleh semangat populisme eksklusif yang seringkali menyaru dalam jargon nasionalisme.
Kasus Mamdani penting sebagai cermin reflektif. Sebagai anak imigran Asia Selatan, seorang Muslim, dan sosialis demokrat, kehadirannya di ruang publik Amerika memicu ketegangan identitas. Ia dianggap "radikal" bukan karena kebijakannya ekstrem, tetapi karena ia menantang batas simbolik siapa yang dianggap "Amerika sejati." Serangan Trump terhadap Mamdani bukan hanya bentuk tekanan administratif, tetapi juga simbol "pengusiran politik"---suatu upaya untuk mencabut hak representasinya di ruang kebangsaan.
Namun Mamdani juga memperlihatkan bahwa politik alternatif tetap mungkin. Kampanyenya yang mengusung solidaritas antarwarga atas isu konkret---mulai dari sewa rumah yang mencekik hingga kekerasan struktural oleh polisi---membentuk basis demokrasi baru yang tidak bertumpu pada kesamaan identitas, melainkan pengalaman bersama sebagai warga. Inilah bentuk populisme progresif yang tidak menakut-nakuti rakyat dengan "musuh bersama," melainkan mengajak mereka membayangkan kemungkinan hidup bersama secara lebih adil.
Pelajaran ini penting bagi Indonesia. Dalam konteks demokrasi yang rapuh oleh polarisasi identitas, kita butuh lebih banyak figur seperti Mamdani: mereka yang berani merepresentasikan suara-suara yang lama dibungkam oleh narasi dominan. Ini bisa datang dari aktivis perempuan di pedesaan, anak muda Papua yang berbicara soal keadilan lingkungan, buruh migran yang menuntut perlindungan, atau warga adat yang memperjuangkan hak tanah. Mereka semua tidak bisa lagi ditempatkan di pinggiran, karena merekalah wajah nyata dari republik yang plural ini.