Dari publikasi buku-buku masak sejak kurun waktu abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu, berkembang sebuah konsep kuliner kawasan yang oleh para gastronom masa itu disebut dengan istilah Indische keuken (kuliner Hindia).Â
Melalui Indische keuken beberapa penulis buku masak melakukan kategorisasi resep berdasarkan kelompok sosial di tanah koloni. Misalnya, penulis Oost-Indisch kookboek (1870) mengelompokkan resep dengan kategori "makanan Belanda" (Hollandsch eten)
dan "makanan Bumiputera" (Inlandsch eten).
Ternyata diskriminasi juga ada dalam makanan dalam masa penjajahan. Dan pribumi yang tanahnya dirampas dan dijadikan boneka pekerja paksa ini jadi disebut inlander. Dihinakan sebagai sapi perah diatas tanah milik bangsanya sendiri. Memang Pengelompokkan ini menyiratkan usaha untuk memurnikan resep-resep bercitarasa Eropa agar tidak bercampur dengan resep-resep Bumiputera.
Meski kenyataannya, resep-resep bercitarasa Tionghoa, India, Arab dan Bumiputera dimasukkan dalam kategori resep Eropa setelah tentunya dimodifikasi oleh penulis resep agar sesuai dengan selera orang-orang Eropa.
Hal itu menunjukkan bahwa dari praktik gastronomi Indische keuken terjalin hubungan yang saling mengenal, mengolah, dan menerima kuliner antarbangsa.
Misalnya saja penulis buku-buku masak mengenalkan resep-resep Bumiputera seperti aneka olahan nasi, sate, kari, soto, rawon, dan sambal kepada para pembaca Eropa; sebaliknya para pembaca dari kalangan Jawa dan Melayu diperkenalkan resep-resep membuat soep, huzarensla, frikadel, beefstuk, poffertjes, roti, nastaart, kaastengels, dan klapertaart.
Memasuki dasawarsa 1940-an, pamor Indische keuken mulai meredup. Selain masa-masa sulit (Malaise), masa Pendudukan Jepang (1942 -- 1945) memunculkan dekolonisasi terhadap berbagai budaya Belanda di Indonesia.
Jepang melalui Hodoka (lembaga yang mengawasi penerbitan media) sangat ketat dalam menyensor layak atau tidaknya media apa pun terbit. Termasuk sensor kepada Buku-buku masak yang memuat citra selera Eropa.
Termenung lagi tentang minyak goreng. Harus ada. Bagaimanapun caranya harus ada didapur. Konon Memang saat ini masa jayanya petani sawit. Teman yang baru datang dari Sumatra bercerita tentang para petani yang tiba tiba jadi sultan. Tentu mereka petani yang punya lahan. Yang buruh, ya tetap buruh.
Ya semoga kenaikan minyak goreng ini bukan karena ulah spekulan. Timbun barang, untuk keuntungan pribadi. Semoga harga harga kebutuhan kembali stabil. Sejak pandemi ini, cari penghasilan juga sulit. Dan lebih merana jika urusan dapur ikutan terguling.
Diskusi di dapur, 12 November 2021