Belajar Dua Tokoh: Canda Ala Sufi Nashruddin dan Guyonan Ala Gusdur
Humor dalam pandangan umum sering dipahami hanya sebagai hiburan atau bahan lawak. Ia dipandang ringan, identik dengan kepandiran, bahkan sekadar alat melepas penat. Namun, pada tokoh-tokoh arif, humor justru menjadi jalan kebijaksanaan. Di balik canda mereka, tersembunyi kritik sosial, sindiran halus, hingga ajaran moral yang mendalam. Dua tokoh yang menonjol dalam tradisi ini adalah Nashruddin, seorang sufi legendaris, dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang ulama besar sekaligus Presiden Republik Indonesia ke-4.
Keduanya memiliki kesamaan: sama-sama berasal dari latar belakang ulama, sama-sama suka melontarkan humor, dan sama-sama kadang dianggap "gila" oleh masyarakat sekitarnya. Namun justru karena dianggap "gila", canda mereka dinantikan banyak orang. Dalam kelucuan yang seolah pandir itu, ada 'verbalitas cerdas' yang membuat orang tertawa sekaligus merenung.
Nama Nashruddin sering disandingkan dengan Abu Nawas, sama-sama terkenal karena kepandaiannya mengemas kebijaksanaan lewat kelucuan. Ia dikenal sebagai filosof besar sekaligus seorang sufi. Meski kerap dituduh gila, Nashruddin justru menjadi orang terdekat sekaligus penasehat Raja besar dari Mongol, Timur Lenk (Taimurlank).
Candaan Nashruddin sering berupa paradoks kehidupan. Ia bisa menjawab pertanyaan sulit dengan jawaban sederhana namun menohok. Ia bisa menertawakan kebodohan manusia, termasuk raja, tanpa menimbulkan kemarahan. Di situlah kekuatan seorang sufi: membungkus kebijaksanaan dalam guyonan yang menyentuh batin.
Sementara Gus Dur justru menempuh jalan berbeda dibandingkan dengan Nashruddin. Seperti kita ketahui sebelum menjadi presiden, Gus Dur dikenal sebagai aktivis politik ulung, pemikir Islam pluralis, sekaligus pejuang demokrasi. Ia tidak dekat dengan penguasa Orde Baru, bahkan sering menjadi pengkritik paling vokal.
Dalam kritiknya, Gus Dur sering menggunakan humor. Banyak guyonannya terinspirasi dari humor politik di negara-negara Eropa Timur, wilayah yang lama hidup di bawah rezim otoriter. Humor politik memang lahir dari ruang-ruang tertindas: makin keras tekanan, makin kreatif rakyat menciptakan kelucuan untuk meledek penguasa. Gus Dur mengadaptasinya dengan khas Indonesia: santai, ringan, dan penuh kejenakaan.
Humor yang Bukan Sekadar Hiburan
Jika ditilik, perbedaan mendasar antara Nashruddin dan Gus Dur yakni terletak pada posisinya terhadap kekuasaan. Nashruddin lebih dekat dengan penguasa, namun tetap mampu "menertawakan" raja dengan cerdik, rajapun terhibur. Sementara Gus Dur jauh dari penguasa, bahkan sering menjadi lawan politik, namun kritiknya disampaikan dengan tawa (guyonan) yang menyejukkan.
Meski berbeda, ada benang merah keduanya, yaitu: Humor bukan sekadar alat hiburan, tetapi cara menyampaikan kebenaran dengan aman dan mengena. Humor bisa menjadi jalan menuju kebijaksanaan, bahkan ketika kata-kata serius mungkin berujung penolakan atau hukuman. Humor adalah bahasa universal umat: membuat yang sederhana terasa dalam, yang rumit terasa ringan.
Maka wajar, jika candaan Nashruddin maupun guyonan Gus Dur tetap dikenang lintas zaman. Tertawa bersama mereka bukan sekadar terhibur, tetapi juga diajak merenung tentang kehidupan, kekuasaan, dan kemanusiaan.