Mohon tunggu...
Eko Widodo
Eko Widodo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Doktor olah raga lulusan Universitas Negeri Jakarta yang juga wartawan BOLA. Penggemar olah raga dengan berjuta idealisme memajukan olah raga Indonesia. Penyuka sepak bola, bulu tangkis, bola basket, cabang-cabang olimpik, sains olah raga, manajemen dan pemasaran olah raga. Komentator bola basket sejak 1995 sampai sekarang dan juga analis olah raga.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

TVRI dan Prestasi Olah Raga Indonesia

24 Agustus 2013   15:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:52 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1377345302768470667

[caption id="attachment_283106" align="aligncenter" width="400" caption="Logo TVRI/Admin (TVRI)"][/caption] Hari ini, 24 Agustus, adalah perayaan ulang tahun TVRI. Dulu, sebelum ada televisi swasta dan berbayar, TVRI adalah hiburan audio visual favorit masyarakat. Setelah menayangkan upacara peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-17 dari Istana Negara (1962), TVRI menyiarkan olah raga multievent, Asian Games. Olah raga dan TVRI memiliki hubungan mesra. Saat pertama kali ikut SEA Games 1977 di Kuala Lumpur, TVRI sukses besar membuat demam masyarakat Indonesia pada olah raga. Tayangan itu sangat dinikmati orang-orang daerah seperti saya. Nama-nama perenang andal seperti Gerald HP Item, Nanik J. Suryaatmaja, Kristiono Sumono, dll. menjadi raja kolam renang dan membuat lagu Indonesia sering dinyanyikan. Indonesia tampil sebagai juara umum dengan 62 emas 41 perak 34 perunggu. Tuan rumah Malaysia dipermalukan dengan hanya menempati peringkat 5 overall dengan 21 emas 17 perak 21 perunggu. Indonesia mencuri perhatian negara-negara Asia Tenggara di partisipasi pertama. Saat itu, wajar jika Indonesia menjadi yang terbaik. Output sekolah olah raga Ragunan tak tertandingi negeri jiran. Pelatih berkualitas, kebanyakan dari luar negeri, dipadukan dengan sumber daya atlet yang tak pernah henti bermunculan. Era keemasan Indonesia di multievent pun tak tertahankan. Tokoh olah raga nasional yang juga mantan pengurus PSSI dan KONI Pusat, Dimas Wahab, merasakan betapa dominasi Indonesia tak terbantahkan. "Sekolah olah raga Ragunan itu luar biasa. Pelatih hebat dikombinasikan dengan atlet berbakat,membuat olah raga Indonesia menemukan masa keemasan di era itu," kata Dimas, dalam wawancara penelitian untuk Disertasi yang saya buat. "Mereka juga diberi fasilitas sekolah yang bagus. Guru-guru juga disiapkan mengejar ketinggalan mereka karena dipergunakan berlatih keras. Insentif juga sangat bagus," kata Dimas. Prestasi bagus itu ditangkap lewat tayangan-tayangan TVRI di SEA Games 1977. Masyarakat benar-benar demam olah raga. Puncak kecintaan pada olah raga terjadi pada SEA Games 1979 saat digelar di Jakarta. Dalam event yang digelar 21-30 September itu, Indonesia kembali menancapkan hegemoni dengan perolehan 92 emas 78 perak 52 perunggu, meninggalkan raja lama Thailand yang hanya bisa mengemas 50 emas 46 perak 29 perunggu. Prestasi Mundur, Tayangan Kendur Pertelevisian berkembang dahsyat di era 1990an. Munculnya TV berbayar, RCTI pada 1989 dan SCTV pada 1990, membuat tayangan, terutama olah raga mulai tergerus. Masyarakat mulai merasakan, kalau mau menonton olah raga harus menggunakan saluran khusus berbayar lewat alat yang dinamai dekoder. Negara-negara Asia Tenggara tentu saja tak tinggal diam dengan hegemoni yang ditunjukkan Indonesia. Mereka belajar dari 'Strength" yang dimiliki Indonesia. Terutama Malaysia, yang memiliki latar belakang mirip Indonesia. "Kami belajar dari keberhasilan Indonesia memobilisasi sumber daya olah raga. Kegagalan mendapatkan medali emas di Asian Games Seoul 1986, menjadi momentum penting kebangkitan olah raga di Malaysia. Kami menggunakan momentum itu untuk memperbaiki diri," ucap Dato' Sieh Kok Chi, tokoh olah raga Malaysia dalam wawancara penelitian saya. PM Mahathir Muhammad mengirimkan para pakar olah raga mereka ke 14 negara yang memiliki prestasi olah raga hebat di seluruh dunia. "Kegagalan di Seoul itu membuat olah raga Malaysia seperti tertampar," kata Prof. Dr. Saleh Aman, dari University of Malaya, saat saya wawancara di Kuala Lumpur. National Sports Policy yang muncul pada tahun 1988, menjadi momentum penting perlawanan Malaysia pada 'keberhasilan' Indonesia. Sieh Kok Chi juga mengakui keunggulan olah raga Indonesia dan kehebatan sekolah olah raga Ragunan. "Kami mengkajinya dan menirunya," ucap Kok Chi. Titik balik menurunnya prestasi Indonesia di multievent terjadi pasca krisis ekonomi 1998. Seperti dikutip dari Harian Kompas edisi 21 Desember 1998 "Tahun 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise. Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga...." Reaksi Ikutan Televisi Memburuknya prestasi olah raga ternyata berimbas pada tayangan-tayangan olah raga. Masyarakat  yang bekerja lebih keras mencari nafkah sehingga perlahan-lahan melupakan menciptakan bibit-bibit hebat atlet. Olah raga pun terkena dampak dengan pengurangan anggaran. Para filantrofi olah raga perlahan-lahan mengurangi komitmen dana mereka. Televisi swasta juga mengurangi tayangan-tayangan multievent. Mereka lebih fokus ke siaran olah raga yang menghasilkan kapital, seperti sepak bola Eropa atau Piala Dunia. Siaran hebat RCTI di Olimpiade Atlanta, sekarang hanyalah tembang kenangan. Memang, tayangan olah raga multievent tak serta merta hilang. Mereka yang memiliki dana lebih, tetap bisa menontonnya via televisi kabel. Atau, kalau koneksi internet bagus, bisa melacak via streaming atau youtube. Bagi masyarakat kebanyakan yang hanya bisa melihat lewat saluran terestrial? Terpaksa mereka 'menjauh' dari tayangan olah raga. Sebenarnya, mereka, rakyat kebanyakan itu, tetap bisa menikmati siaran olah raga via TVRI. Saat Olimpiade London 2012, tayangan bola basket Olimpiade via TVRI ternyata dampaknya dahsyat. Warga di tempat tinggal saat saya saat KKN 1990 di desa Lemah Subur, Karawang, 22 tahun kemudian bisa melihat dan mengenali saya. Saat menjadi komentator liga bola basket Nasional (NBL) 2013 di Surabaya, lagi-lagi TVRI membuat saya banyak mendapatkan respon dari pelosok Indonesia. Mulai dari teman lama, fan, sampai penggemar basket berkirim notifikasi via media digital, agar memperbanyak tayangan lewat saluran gratis seperti TVRI. Jika olah raga Indonesia ingin kembali bangkit, TVRI harus dirangkul. Saluran ini relatif tidak komersial dibandingkan TV-TV Swasta kebanyakan, yang menanamkan impian kosong lewat tayangan sinetron tak berbobot edukasi di waktu prime time. "Televisi dengan tayangan sinetron itu memperlemah kecerdasan bangsa," ucap almarhum MF Siregar, teknokrat olah raga papan atas sejak era Soekarno hingga presiden SBY. Insting saya, TVRI pasti sudah mencium itu. Mereka punya potensi besar menjadi besar lagi via olah raga. Namun, apakah ada 'kekuatan besar' dari luar yang membuat TVRI belum berani lagi menjadi penayang olah raga terbesar? Selamat ulang tahun TVRI. Saya menunggu siaran-siaran olah raga bermutumu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun