Mohon tunggu...
Eki Tisna Amijaya
Eki Tisna Amijaya Mohon Tunggu... Bankir - ex-Policy Maker

I am a futurist and strategist

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Self-Sufficient Urban Farmer: Semua Orang Bisa Jadi Petani di Kota Metropolitan

20 Mei 2019   18:24 Diperbarui: 20 Mei 2019   19:26 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Subtema: Modernisasi Pertanian di Era Revolusi Industri 4.0

Ketika rombongan Menteri Amran Sulaiman menghadiri pertemuan para menteri pertanian anggota negara maju G20 di Niigata pada tanggal 11-12 Mei 2019 lalu, negara penyelenggaranya adalah Jepang, tempat gudangnya penemuan cerdas, dan bertema luar biasa: Akses Inovasi Teknologi dalam Dunia Pertanian. 

Negara anggota G20 adalah negara maju, dan Indonesia adalah satu-satunya wakil yang berasal dari Asia Tenggara, suatu prestasi yang membanggakan. Dalam annual meeting tersebut, seperti dikutip dari Tabloid Sinar Tani edisi Mei 2019, para negara sahaba sangat mengapresiasi pidato Menteri Amran tentang pentingnya teknologi dan inovasi, terutama penguatan digitalisasi, dalam peningkatan hubungan antara produsen dan konsumen pangan di era Industri 4.0. Superb!!

Mengapa Jepang dipilih sebagai host dalam konferensi prestisius tersebut? Jepang adalah negara agrikultur yang minim lahan pertanian. Ketika sumber daya alam seperti air dan tanah semakin terbatas, Jepang mengatasi masalah kelangkaan pangan dengan teknik lama yaitu pertanian vertikal kemudian mengkombinasikannya dengan revolusi internet untuk kontrol hasil harian. 

Hasilnya? Jepang mampu memenuhi konsumsi penduduknya melalui pasokan yang justru bukan bersumber dari pedesaan melainkan dari perkotaan padat seperti Tokyo. Gedung-gedung pertanian dibangun dalam area kota dengan produksi utama holtikultura memanfaatkan minimnya penggunaan tanah, pestisida, pupuk, air, dan sinar matahari. 

Teknologi digital dan internet diterapkan untuk memonitor kualitas tanaman dan kuantitas sumber yang digunakan secara langsung atau remote. Di dalam gedung berjejer rak -rak tanaman siap panen yang hasilnya sampai ke tangan konsumen perkotaan dalam hitungan menit dan dalam kondisi segar. Tak kurang, data-data pertanian pun dianalisa oleh machine learning demi kepentingan pengambilan keputusan di masa depan.

Vervemagazine.co.nz
Vervemagazine.co.nz

Kota sebagai Pusat Konsumen Pangan

Melihat masa depan, inovasi yang diciptakan Jepang sepatutnya dapat di terapkan di Indonesia. Mengapa inovasi ini diperlukan padahal capaian Kementerian Pertanian bisa dibilang sangat berhasil? Jawabannya karena tantangan masa depan akan lebih kompleks dari sebelumnya. 

Ya betul bahwa rata-rata inflasi bahan makanan periode 2014-2018 yaitu 5.15%, lebih rendah dari rentang 2009-2013 sebesar 8.04% dan ekspor pertanian naik menjadi 29.7% dari periode sebelumnya. Selain itu, Kementerian Pertanian bersumbangsih besar terhadap penurunan gizi buruk sebanyak 3% dan turunnya tingkat kemiskinan di Indonesia menjadi satu digit di angka 9.66%.

Namun, prestasi-prestasi tersebut dapat lebih ditingkatkan dalam semangat menyongsong Industri 4.0 yang diperkirakan booming pada 2020. Revolusi Industri 4.0 diramalkan akan mengubah wajah pertanian Indonesia karena menghilangkan batas antara dunia maya, dunia fisik, dan biologis konsumen, persis terjadi pada industri e-commerce seperti Tokopedia dan Bukalapak, dan industri hospitality contohnya AirBnb. 

Peranan teknologi mengokupansi porsi yang lebih besar seperti dicontohkan oleh pertanian vertikal di Jepang. Akan tetapi permasalahan justru muncul di perkotaan dimana jumlah konsumen pangan berpusat. Ketimpangan sebaran penduduk Indonesia menimbulkan keraguan apakah petani desa mampu menopang kebutuhan kota dikala jumlah petaninya makin menyusut. Belum lagi masalah jarak dan transportasi. 

Pembangunan infrastruktur dimasa Presiden Joko Widodo memang mengatasi masalah kecepatan transportasi hasil pertanian dari desa ke kota. Tapi, solusi ini belum berperan nyata dalam mengurangi ongkos pengangkutan yang justru dikhawatirkan mengangkat harga jual pangan.

Hal seperti ini, jika lambat ditanggulangi, dapat menjadi hambatan bagi Rencana Aksi Nasional Lima Tahun Kementerian Pertanian yang telah dituangkan dalam Road Map Sustainable Development Goals (SDG) 2030. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan solusi cepat, mudah, dan murah terutama bagi penduduk perkotaan.

Solusi itu bernama Self-Sufficient Urban Farmer

Konsep yang penulis kenalkan adalah Self-Sufficient Urban Farmer, yaitu penduduk kota dapat memenuhi kebutuhan bahan pertanian secara swadaya dengan teknik pertanian vertikal terintegrasi secara digital, seperti yang diterapkan di Tokyo, tetapi dalam skala kecil yaitu cakupan lingkup keluarga. 

Konsep ini selaras dengan program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Kementerian Pertanian dimana bertujuan untuk tersedianya bahan pangan pertanian secara mandiri memanfaatkan lahan pekarangan di sekitar rumah tinggal. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut.

  • Pertanian Vertikal Mikro

Pertanian Vertikal (Vertical Farming/VF) adalah teknik menanam tanaman pangan dengan media susun tingkat (layering) dalam ruangan tertutup. VF dilakukan dalam ruangan tertutup dan lingkungan terkontrol dan kompleks bangunan VF terletak di area dekat dengan pemukiman penduduk. 

Teknik ini fokus pada aspek detail yang berdampak langsung kepada pertumbuhan tanaman dan mengesampingkan aspek produksi massal pertanian konvensional. Sebagai contoh, air dan tanah diatur supaya berpengaruh maksimal pada akar, atau sinar UV diletakkan dalam jarak dekat dengan daun agar hemat energi.

Penulis menyarankan konsep turunan Vertical Farming Micro, yaitu teknik VF tapi dalam rak-rak yang lebih kecil di dalam rumah penduduk. Pada prinsipnya, teknik ini mirip dengan konsep asal tetapi dimodifikasi skalanya agar keluarga hanya mengelola "kebun kecil" di dalam ruangan terbatas. 

Jumlah tanaman yang ditanam pun terbatas sehingga air, tanah, nutrisi, dan intensitas cahaya terpantau oleh anggota keluarga seperti ibu dan ayah. Bibit tanaman dipilih sesuai dengan kebutuhan keluarga seperti sayur-sayuran dan holtikultura mudah panen. 

Suhu ruangan diatur dengan AC rumah dan intensitas cahaya serta pengaturan lainnya dimonitor dengan perangkat personal assistant seperti Amazon Alexa dan Google Home. Intinya, teknik ini memanfaatkan ruangan sempit dalam rumah untuk memenuhi konsumsi rumahan.

Source: Sonomaseven.dk
Source: Sonomaseven.dk
  • Jenis Bibit, Media Tanah, Air, Sinar UV, dan Temperatur

Karena tujuannya hanya memenuhi kebutuhan harian keluarga dari hasil swa-panen, bibit tanaman hidroponik biasanya cocok dengan teknik VF. Penulis membagi kategori bibit menjadi tiga yaitu dedaunan, umbi, dan semi-buah. 

Untuk dedaunan seperti kangkung, selada hijau, seledri, bayam, dan kemangi. Jenis umbi diperoleh dari wortel, lobak, bawang merah dan putih. Sedangkan untuk buah diperlukan ruangan yang lebih besar. Penulis menyarankan agar VF buah tidak dilakukan di apartemen karena keterbatasan ruang gerak. Contoh bibit dalam kategori ini: tomat, terong, cabe, dan semangka.

Media tanah VF adalah hidroponik yaitu arang sekam, rockwool, cocopeat, dan lain-lain. Jenis media juga disesuaikan dengan bibit yang dipilih agar kokoh menyanggah tubuh tanaman. Tak kalah penting adalah aspek daur ulang. VF menggunakan air yang didaur ulang secara kondensasi. 

Aliran air diserap oleh tanaman dalam jumlah kecil tetapi optimal. Pengaturan air dilakukan secara manual atau otomatis dengan software. Teknik VF memastikan air diserap oleh akar dan tidak ada yang terbuang. 

Cahaya yang digunakan adalah LED sinar UV. Lampu LED ini terdapat dengan harga murah dan berbentuk lightstrip yang diletakkan berdekatan dengan daun. Temperatur yang digunakan sangat bergantung pada bibit yang ditumbuhkan. Untuk mengaturnya, ruangan khusus untuk sarana VF biasanya difasilitasi oleh AC hemat energi.

  • Perangkat Keras (Hardware) dan Lunak (Software)

Penggunaan kombinasi hardware dan software adalah inovasi terbaru teknik VF. Ketersedian internet rumahan memungkinkan tanaman VF terkomputerisasi sehingga dapat dimonitor dari jarak jauh layaknya konsep Internet of Things (IoT). 

VF Micro tak jauh beda, hanya perlu software  yang punya lebih sedikit fitur dibandingkan VF skala lebih besar. Walaupun sederhana dalam fitur, perangkat lunak yang digunakan tetap menopang automasi dan monitoring tanaman. Contoh sederhana yang penulis sarankan adalah personal assistant yang diaktifkan lewat suara seperti Amazon Alexa atau Google Home. 

Alat ini telah mampu mendukung pengoperasian smart thermostat dan electric switch. Pasar e-commerce pun telah menyediakan banyak alternatif hardware yang dapat dikontrol secara remote. Alat-alat tersebut dapat berupa mesin pengatur irigasi, smart thermostat, pengukur kelembapan dan wireless moisture sensor, striplight yang compatible  dengan Amazon Alexa, smart electric pluggin, dan kamera ber-wifi. 

Dengan perangkat tersebut, urban farmer dapat memonitor tanaman dirumahnya karena semua alat dikendalikan lewat suara atau smartphone atau kombinasi keduanya. Dari segi harga, baik software atau hardware masih terjangkau oleh masyarakat perkotaan dengan investasi sekitar 2 Juta Rupiah.

machbee.com
machbee.com

Self Sufficient Urban Farmer Sebagai Implementasi Program KRPL

Metode yang penulis sarankan tidak hanya berguna untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat kota tetapi juga berdampak pada aktivitas ekonomi lainnya yang mungkin muncul. Beberapa aspek yang dipertimbangkan adalah sebagai berikut.

  • Pemenuhan Kebutuhan Keluarga

Kota metropolitan seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya mempunyai jumlah penduduk masif. Jika seperlima saja dari total kepala keluarga di perkotaan tersebut berpartisipasi dalam VF Micro berarti kebutuhan penduduk akan sayur dan holtikultura dapat diringankan. 

Hal ini selaras dengan konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari yang mengedepankan pemanfaatan pekarangan sebagai sumber bahan pangan keluarga. Bedanya, KRPL belum mengatur pertanian dalam perumahan lahan terbatas seperti apartemen dan cluster.

  • Hemat Sumber Daya

Di dalam VF, baik hidroponik atau aquaponik mengurangi banyaknya penggunaan sumber daya seperti air dan tanah. Konsep VF yang lebih maju malah memanfaatkan air daur ulang hasil irigasi yang kemudian dikondensasikan sehingga dapat digunakan kembali. 

Media tanah yang dipakai tidak butuh selalu diganti serta memanfaatkan bahan limbah seperti serbuk kayu dan serat kelapa yang diperkaya dengan nutrisi. VF skala micro hanya membutuhkan cahaya UV yang intensitasnya cukup untuk terjadinya fotosintesis. Cahaya UV inipun berasal dari lampu LED yang terkenal irit listrik.

  • Komersialisasi

Bagi keluarga yang telah tercukupi kebutuhannya, VF dapat dikomersialisasikan dengan menjualnya ke RT/RW sekitar. Lewat cara yang lain, penjualan juga bisa melalui platform digital seperti e-commerce atau menyewa jasa ride sharing seperti GoSend atau Grab Send. 

Pembeli yang disasar pun telah jelas yaitu konsumen yang suka terhadap sayuran fresh dan tidak mau menunggu pasokan dari pedesaan. Petani juga dapat membuka toko khusus sayuran hasil VF yang bersifat One Stop Shopping walaupun mesti dihitung ulang peluang bisnis dengan cara ini. Konsep bisnis ini diharapkan menarik minat kaum milenial untuk bekerja di sektor pertanian.

snowboarding.nganu.co
snowboarding.nganu.co

pertanianku.com
pertanianku.com
Sebagai penutup, penulis berkesimpulan bahwa ide Self-Sufficient Farmer sepatutnya dapat menjadi alternatif solusi dalam swasembada pangan. Ide ini secara langsung mendukung program KRPL Kementerian Pertanian sehingga sudah sewajarnya dapat ditindak lanjuti di level yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun