Mohon tunggu...
Ekel Sadsuitubun
Ekel Sadsuitubun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Elektronika dan Komputer, Filsafat Serta Musik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Budaya Kosmopolitanisme: Suatu Refleksi atas Kebudayaan Lokal

1 Desember 2022   08:21 Diperbarui: 1 Desember 2022   12:53 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

      Seperti telah dijelaskan bahwa Budaya Kosmopolitanisme adalah budaya yang menyatakan bahwa manusia dipersatukan manjadi satu kebudayaan tunggal oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan IPTEK membuat hilangnya jarak geografis dan kian terkoneksikannya manusia dalam jejaring global. Berikut akan dijelaskan perspektif historis Kosmopolitanisme, karakter dasarnya, masalah-masalah yang ditimbulkannya dan prinsip-prinsip etis yang diimplikasikannya.

1). Perspektif Historis Kosmopolitanisme

      Budaya Kosmopolitanisme bukanlah sesuatu yang baru. Jika diliha kebelakang, ke tradisi imajinasi utopian Barat, Ia sudah ada meski implisit pada gagasan Agustinus tentang The City of God, yang membayangkan bahwa ideal-ideal masyarakat Romawi suatu ketika akan berlanjut dan menemukan kepenuhannya. Tetapi di luar itu pun, kosmopolitanisme sudah salalu merupakan ambisi dan ekspektasi, atau langgam dasar kiprah dunia barat. Itu terasa eksplesit terutama sejak periode Pencerahan abad ke-18, dan bertumbuh lanjut melalui kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa. Kolonialisme membuka jalan untuk tersingkapnya khasanah pengetahuan yang amat luas dari seluruh dunia, tentang budaya, sistem kepercayaan, bahasa, lingkungan geografis yang diperlukan bagi sains modern yang baru. Bersamaan dengan itu gagasan tentang negara-bangsa ditekankan sebagai prinsip organisatoris yang perlu guna meraih cita-cita kemajuan komunitas (Oleh Kant dan Hegel). Konsep negara adalah kerangka yang dimaksudkan untuk menjamin terbentuknya komunitas ideal yang rasional dan bertatanan moral. Singkatnya, proyek pencerahan, yang Eurosentris, telah merintis jalan ke arah kosmopolitanisme yang ujungnya kini kita alami.  Meskipun demikian, dalam konteks postkolonial dan postmodern saat ini, berbagai perkembangan telah memperumit gambaran tentang kosmopolitanisme.

2). Masalah-masalah yang ditimbulkan

         Kosmopolitanisme modern disatu pihak telah membangun pengetahuan sosial dan institusi dengan pola-pola yang telah diteliti dan dimantapkan secara ilmiah; namun di lain pihak kini bermunculan gejala-gejala baru yang tak terduga seperti: aneka aliran yang saling berlintasan macam aliran manusia, uang, maji, ideologi dan sebagainya. Dunia menjadi jejaring di mana semua medan imajiner itu saling terkait  sekaligus tumpang tindih, heterogen, kompleks dan sangat dinamis. Mekanisme kerja jejaring itu sedemikian baru sehingga regulasi-regulasi ala negara-bangsa tidak lagi memadai untuk mengendalikannya.

         Masalah yang ditimbulkan juga berupa perubahan arah refleksi yang mulai bergerak ke masa depan bersama, kebalikan dari memori kolektif dari perspektif begara-bangsa, yang terarah ke masa lampau. Kesadaran kolektif atas masa depan mulai menggantikan pentingnya kesadaran atas tradisi. Tradisi masyarakat kosmopolitan kini adalah tradisi masa depan, masa depan yang rapuh dan tak pasti. Akibat dari situasi itu adalah, masyarakat kosmopolitan kini menghadapi dilema; di satu pihak kesadaran kolektif atas masa depan telah muncul namun tidak disertai tindakan-tindakan terinstitusi yang memadai ke arah masa depan, di pihak lain, masih banyak praktik sosio-kultural didasarkan pada memori kolektif nasional, yang memendam dendam dan kekerasan dari masa lalu, tanpa kesadaran memadai terhadap masa depan.

3). Prinsip-prinsip Etis

        Prinsip etis kosmopolitanisme yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan adalah: hospitalitas (keramahan menerima pihak lain), tanggung jawab dan reflektivitas. Hospitalitas di sini bukanlah sekedar hak, melainkan sensibilitas yang mendorong terbentuknya kesadaran kritis dalam hubungan-hubungan sosial dan praktik institusional. Hospital mengandung tindakan mempertanyakan otoritas atau kekuasaan, mempertanyakan cara suatu otoritas dikonstruksi sekaligus batas-batas otoritas itu. Karena itu, hospitalitas bukanlah semata-mata tentang aturan tinggal, dengan kekuasaan asimetris tak setara yang berujung pada dominasi, melainkan tentang pengakuan bahwa keduanya saling membentuk, sesuatu yang relasional sekaligus bergeser-geser, layaknya kodrat semua identitas. Tanggung jawab di sini muncul sebagai respon terhadap kerapuhan dan derita, yang tampil melalui hubungan wajah, melalui titah tanpa suara dari sang liyan yang diarahkan kepadaku, yang mengandung rasa keadilan dan kasih. Meski orang dari budaya yang berbeda bisa jadi akan tetap tidak sepakat tentang apa yang dianggap "baik", kiranya ia masih mungkin untuk bersepakat bahwa penderitaan tak bisa ditolelir. Manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melawan penderitaan, atau pun melawan pemerintah yang tak mampu melindungi hak-hak manusia. Disamping itu, diperlukan juga refleksitas baik terhadap nilai budaya lain maupun terhadap konteks budaya kita sendiri. Refleksivitas ironis membuat kita tak pernah bisa yakin dan pasti atas "vokabulari utama"- atau kaidah universal-yang bisa kita gunakan untuk menghakimi budaya lain.

D). "Hegemoni" Dalam Konteks Kebudayaan Kosmopolitan

          Tendensi Hegemoni merupakan kontetasi kekuasaan gagasan, wacana, dan kepentingan; kekuasaan yang dominan adalah yang berhasil mem-"frame" berbagai kepentingan dan pengertian yang berbeda di luar dirinya, ke dalam kerangka idea dan wacananya sendiri, sehingga semua tampak sebagai hal yang natural dan seolah seharusnya demikian. Namun kerangka berpikir demikian kini tidak cukup memadai.

         Dalam perspektif lebih luas diperlukan kerangka berpikir yang lebih bersifat relasional. Artinya, identitas dan kebudayaan adalah sebuah proses yang berkembang terus melalui proses interaksi timbal balik semua dengan semua. Identitas adalah sesuatu yang senantiasa dalam proses "menjadi", melalui segala bentuk relasi dengan yang lain di luarnya. Kensekuensinya, selalu ada unsur-unsur "asing" juga dalam diri sistem budaya, agama, ataupun ras kita. Bahwasanya dalam konteks tertentu relasi itu ternyata hegemonik, itu pun tidak menunjukkan bahwa setiap relasi dan setiap artikulasi identitas niscaya berkecenderungan hegemonik. Jadi, Hegemoni dalam konsteks kebudayaan Kosmopolitanisme adalah interaksi timbal balik semua dengan semua (identitas dan kebudayaan satu dengan yang lain) yang memunculkan unsur-unsur baru dalam suatu kebudayaan tertentu yang sekaligus memperkayanya. Relasi itu dinamakan relasi hegemonik dalam konteks budaya kosmopolitanisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun