Indonesia memiliki banyak sekali suku ,ras , agama dan budaya, salah satunya adalah Suku karo yang merupakan suku dari kabupaten karo , sumatera Utara. suku karo memiliki banyak sekali Sub marga-marga di dalam nya yang bermakna marga merupakan identitas seseorang itu sendiri yang terdiri dari marga Sembiring,Karo-Karo, Tarigan Dan Ginting yang masing -masing memiliki sub marga/cabang marga nya sendiri . Dalam artikel ini akan membahasa salah satu sub cabang marga Ginting yakni Ginting Tampune yang merupakan pecahan dari Ginting munthe, tetapi tidak ada dalam Sub marga ginting , lantas bagaimana bisa ada nya marga tersebut ? bagaimana sejarah awal adanya marga tersebut dan bagaimana perkembangan nya ?Â
Sejarah Marga Ginting
 Marga Ginting adalah salah satu marga utama dalam masyarakat Karo di Sumatera Utara. Secara tradisional, Ginting dianggap sebagai "Siwah Sada Ginting" atau sembilan marga Ginting yang tunggal, namun terdapat banyak sub-marga di dalamnya, seperti Ginting Babo, Ginting Sugihen, dan lainnya. Legenda menyebutkan asal-usul marga ini dari daerah Kalasan, kemudian berpindah ke Samosir, Tinjo, dan akhirnya ke Guru Benua, di mana lahirlah kesembilan marga tersebut . Lalu ada juga sumber buku lain yang berjudul "perlanja Sira"  yang mengatakan marga ginting seperti Gunting suka,manik , munthe berasal dari wilayah yang berbeda -beda. Ginting suka berasal ke karo melalui jalur lau lingga melewati pegunungan sibuatan, mereka datang dari pak-pak. Mereka menyebar dari lau lingga ke sugihen ke suka dan ke arah barat juhar . sementara itu , Ginting munthe datang melalui danau dan pergi lewat tengging, Ajinembah,ke munthe dan keriahen.Ginting munthe berasal dari kalasan ,pakpak.Kemudian Ginting manik berasal dari daerah cinendang di wilayah pakpak. Lalu seiring berjalan nya waktu, marga ginting akhirnya berkembang dan hingga saat ini terdiri 18 sub marga ginting yakni :Â
Ginting pase , Ginting Munthe , Ginting suka, Ginting Manik, Ginting sinusinga,Ginting Jawak, Ginting seragih,Ginting Sini Suka , Ginting babo, Ginting Sugihen, Ginting Guru patih , Ginting Beras , Ginting Bukit , Ginting Garamata, Ginting Jadi bata, dan Ginting Ajar Tambun.Â
Asal Usul Marga Ginting Tampune
 Awal mula dikisahkan marga Ginting Tampune ini merupakan Marga Munthe itu sendiri yang merupakan Ginting Munthé dalam tradisi Menurut tradisi lisan Karo yang juga dicatan oleh seorang misionaris Nederlandsche Zending-genoothschap(NZG) asal Belanda, Pdt. J. H. Neumann dikatakan, merga Ginting Munte yang merupakan salah satu cabang(sub-)merga dari merga Ginting ini, awalnya tumbuh di wilayah Tongging(di Tanah Karo) begitu pula dengan Ginting Pasé dan juga Ginting Manik. Selanjutnya dikisahkan, keturunan dari Ginting Munte ini dari Tongging bermigrasi ke Becih dan Kuta Sanggar; selanjutnya ke Aji Nembah.Keturunan yang di Aji Nembah ini-lah yang kemudian bermigrasi kuta Munte dan sebagian ke wilayah Timur(Simalungun) dan berpencar ke sekitar wilayah Danau Toba lainnya. Hampir di beberapa tradisi Munte menyiratkan awal-awal leluhur mereka berasal dari kuta(kampung) Aji Nembah(di Taneh Karo) ini. Dalam tradisi yang berkembang di timur Danau Toba(Simalungun) proses migrasi ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1395 – 1435 Masehi, dimana Tuan Sipinangsori putra dari Jalak Karo yang berasal dari Aji Nembah sekitar tahun 1428 M menetap di Raja Simbolon dengan menunggangi horbo(kerbau) Sinanggalutu. Dalam sumber lisan dimana penulis mewawancarai salah satu keturunan Marga Ginting Tampune tersebut mejelaskan bahwa awal mula nya Sebelum bermigrasi dari simalungun ke wilayah dataran tinggi karo tepatnya di Kerajaan Pencawan ( Perbesi sekarang) marga tersebut masih membawa marga Munthe , namun setelah bermigrasi ke wilayah kerajaan pencawan dengan bekerja sebagai pengembala kerbau di wilayah pegunungan dekat kerajaan pencawan tersebut , tepatnya di Karang Penganci. karena belum ada tempat tinggal di permukiman warga dan juga karena bekerja sebagai pengembala kerbau maka dulunya membangun gubuk(sapo) di pegunungan tersebut sekaligus menjaga ternak. Di daerah tempat tinggal karang penganci tersebut dikelilingi hutan belantara yang dimana banyak burung-burung pune yang bersarang di wilayah pegunungan tersebut. Masyarakat di daerah tersebut jika melihat pengembala tersebut mengembala ke daerah tersebut maka orang - orang lebih familiar dengan menyebut " si pengembala rumah Pune" di uruk penganci . Karena banyak nya burung pune yang menghinggap dan bersarang di wilayah di gubuk tempat tinggalnya di karang penganci tersebut. Maka dari sini lah awal mula masyarakat pencawan mengenal Ginting Tampune dari uruk penganci.
  Perkembangan Marga Ginting TampuneÂ
   Dalam Sejarah marga sebayang yang ditulis oleh raja Kami Sebayang dan buku sejarah perbesi dan perkembangan marga sebayang dan silsilah Raja Lambing yang ditulis oleh Prof Amir Mirza sebayang  yang menjelaskan bahwa awal mula lahirnya marga sebayang yang merupakan keturunan dari raja lambing itu sendiri,  dimana raja lambing menikahi istri dari raja pencawaan dan melahirkan 3 anak yakni 1 laki-laki diberi nama Sebayang diambil dari nama"Si- ter bayang" artinya dalam bahasa indonesia YANG TERPASUNG , dan 2 perempuan dimana 1 dinikahi marga Ginting tampune dan satunya Marga sembiring Brahmana. Pertemuan antara Ginting tampune ini dengan Br sebayang anak dari raja lambing tersebut sangat unik, dimana menurut cerita dari keturunan marga Ginting tampune yakni Aripin Ginting mengatakan bahwa saat Ginting Tampune berjalan melewati perladangan untuk melakukan aktivitasnya mengembala kerbau tidak sengaja bertemu dengan anak raja lambing tersebut. Tidak disangka dengan pandangan pertama mereka saling menyukai satu sama lain dan akhir nya menikah dan memiliki 1 anak laki-laki tunggal yang diberi nama Dias Tampune. Lalu dias tersebut menikah lagi dengan br sebayang yang ada di perbesi dan menurunkan 2 anak bernama jenda Ketna & Sampang Suang.
  Jenda Ketna memilih untuk Tinggal di perbesi sedangkan Adiknya Sampang suang memilih membuka barong-barong atau membuka lahan baru untuk mencari tempat yang baru , dimana hal tersebut biasa dilakukan oleh orang zaman dulu . sehingga nantinya Sampang suang ini lah yang akan sampai di lembah kuala ( desa kuala sekarang) bersama dengan 3 marga sebayang lainnya yakni Nini empong Nandangi , Nini empong ngadi tua , dan  Nini empong Pa rasa, Lalu mereka membentuk permukiman baru hingga akhirnya membentuk permukiman baru atau dalam bahasa karo nya ( Rumah Si mbaru ). Seiring berkembang nya keturunan dari marga sebayang di desa perbesi dan kuala maka jenda ketna yang tinggal di perbesi menikahi Br sebayang yang menurunkan 3 anak lak-laki  yang bernama Rangkup,Bale Masep dan Mahat , begitu juga dengan Sampang suang yang beberapa kali menikahi br sebayang yang memiliki 4 anak, tetapi setelah kesekian kalinya menikahi br sebayang di kuala tetapi tidak bertemu dengan anak laki-laki. Dalam suku karo maupun suku batak anak laki-laki merupakan harta penting untuk mewariskan marga dari ayah (Patrilineal ). Sedangkan dalam keturunan Sampang suang ini belum dianugrahi seorang anak laki-laki hingga masa tua nya yakni berumur sekitar 70 tahun. Sempat putus asa dan tidak akan menjadi anak beru sebayang karena tidak ada keturunan laki-laki dalam bahasa karo disebut masap maka marga sebayang yang ada di desa kuala melakukan musyawarah untuk mencari perempuan yang akan dinikahkan kepada Sampang suang supaya mendapat keturunan anak laki-laki , Setelah itu maka marga sebayang pergi ke Kuta buluh , disana ada br sebayang yang merupakan keluarga dari Nini empong ngadi tua yang masih muda ( singuda-nguda) yang akan dinikahkan kepada Sampang suang . Setelah itu dibawa lah Br sebayang tadi ke kuala untuk diikahkan lalu setelah itu maka lahir lah seorang anak laki-laki yang bernama Ngedum Ginting. Hingga pada akhirnya Ngedum Ginting 6 kali menikahi br sebayang diantaranya :