Pendeman , 24/04/2025 --- Saya ingin bercerita, sekaligus curhat, sekaligus berharap tulisan ini bisa dibaca banyak orang di lingkungan saya sendiri, siapa tahu hati mereka bisa lebih terbuka.
Beberapa bulan lalu, saya bersama beberapa ibu-ibu di kampung ini memutuskan untuk memanfaatkan pekarangan rumah dan lahan kosong di sekitar lingkungan. Kami membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) dan mulai menanam sayur-mayur untuk kebutuhan sehari-hari. Harapannya sederhana: agar bisa makan sayur segar tanpa harus membeli di pasar setiap saat, dan sedikit membantu perekonomian keluarga.
Kami menanam bermacam-macam, mulai dari kangkung, sawi, cabai rawit, terong, dan tomat. Tidak muluk-muluk, lahan sempit pun kami manfaatkan semaksimal mungkin. Setiap sore, selesai pekerjaan rumah, saya sempatkan menyiram, menyiangi rumput liar, memberi pupuk organik, dan memeriksa satu per satu tanaman saya.
Namun, perjuangan merawat kebun kecil ini rupanya tidak semulus bayangan saya di awal. Masalah terbesarnya bukan hama ulat atau cuaca panas, melainkan ayam-ayam peliharaan milik warga sekitar yang dibiarkan berkeliaran tanpa pagar kandang.
Hampir setiap pagi, ayam-ayam ini datang bergerombol, mematuk daun-daun sayur yang masih muda. Kadang mereka mencakar-cakar tanah di bedengan, mencari cacing atau serangga, sekaligus mencabut bibit yang baru saya tanam. Kalau sudah begitu, habislah usaha saya semalam suntuk. Pernah juga ayam-ayam ini buang kotoran di sela-sela kebun, membuat tanaman saya jadi rentan terkena penyakit.
Masalah ini sebenarnya bukan hanya saya yang rasakan. Banyak tetangga, terutama anggota KWT lain, juga mengeluh. Kami sudah beberapa kali membicarakan hal ini dalam pertemuan rutin di balai RW. Pak Lurah juga tidak tinggal diam. Beliau sudah sangat sering menghimbau warga agar ayam peliharaan dipelihara dengan benar, dikandangkan, atau minimal dijaga supaya tidak berkeliaran ke pekarangan tetangga.
Bahkan, himbauan ini sudah diumumkan di masjid setiap selesai salat berjamaah. Pernah juga disampaikan saat rapat warga bulanan. Tidak cukup hanya kata-kata, Pak Lurah dan Pak RT pun memasang banner besar di jalan masuk kampung dan dekat balai desa. Tulisan di banner cukup jelas: "DILARANG MELEPASKAN AYAM BERKELIARAN DEMI KEBERSIHAN DAN KETERTIBAN LINGKUNGAN."
Tapi, apa daya, semua usaha itu seperti angin lalu bagi sebagian warga. Beberapa orang tetap saja melepas ayamnya keluar dari pagar rumah. Saya pernah menegur baik-baik, bilang kalau ayamnya merusak tanaman saya. Sayangnya, jawaban yang saya dapat justru membuat hati makin kesal: "Namanya juga ayam Bu, masa diikat terus? Nggak tega saya."
Kalau dipikir-pikir, saya juga tidak tega melihat hasil kebun saya jadi hancur. Setiap kali mau panen, sayurnya malah habis duluan dipatok ayam. Kalau pun masih ada sisa, daunnya sudah bolong-bolong, layu, dan kadang harus saya buang karena kotoran ayam menempel di mana-mana.