Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seta

16 Oktober 2018   11:24 Diperbarui: 16 Oktober 2018   11:50 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pinterest.com

Aku...aku dan aku...selalu saja itu yang kau katakan. Aku maunya ini aku maunya begitu. Jangan seperti ini, jangan seperti itu. Harus begini, harus begitu. Entah sampai kapan ucapan-ucapan itu pergi dari hidupku. Aku juga ingin kau beri pujian. Bukan makian, apalagi cercaan kesalahan. Memang kesalahan terbesarku adalah satu, yaitu menikahimu. Menikahi wanita sepertimu sepertinya tidak cukup hanya kesabaran, tapi juga kewarasan. Karena hampir tiap jam, tiap menit, tiap detik dirimu mencaciku. Memukul telak diriku dengan cemohan-cemohanmu.

Dua tahun yang lalu.

Seta, nama gadis ayu itu. Siapa yang tak tergoda dengan wanita cantik dari keluarga berada itu. Bahkan kedua orangtuanya sering kali menjodohkannya dengan pria mapan dan kaya raya. Namun entah mengapa Seta tetap setia kepadaku. Awalnya aku bimbang, karena ibuku tidak merestui hubungan kami. Menurut ibuku, Seta bukanlah calon istri yang baik untukku. Tapi semakin ibu melarang, semakin besar juga keinginanku untuk mendapatkan Seta, apapun konsekuensinya. Dan akhirnya aku benar-benar membawa Seta hadir dalam kehidupanku. Aku menikahinya tanpa persetujuan ibuku dan juga kedua orangtuanya. Seta kucuri, kuasingkan dari kehidupannya yang dulu serba mewah.

Kami bahagia. Ya, awalnya memang begitu bahagia. Layaknya anak kecil yang disuruh mamanya tidur siang, tapi berhasil melarikan diri untuk main laying-layang. Hatiku sangat bahagia, melayang-layang di udara, aku memiliki istri yang cantik, aku memiliki wanita pujaan banyak pria.

Namun ada satu peristiwa yang membuat segala mimpi ini harus berakhir. Ketika Seta menyadari dirinya terlalu banyak berubah. Gaunnya yang dulu begitu mahal digantikan oleh daster yang mudah kusut serta robek. Istana yang dulu ditinggalinya berubah menjadi gubuk yang hampir rubuh. Tangannya yang halus kini berubah warna menjadi kehitaman karena menajdi buruh tani di sebuah pedesaan. Belum lagi parfum wanginya yang mahal kini berubah menjadi kucuran keringat yang mengalir deras tiap siang hari. Ah, apalah dayaku, diriku yang belum lulus kuliah yang mencoba untuk hidup berumah tangga. Kini kuliahku terhenti, akupun menjadi kuli panggul di pasar. Apapun kulakukan agar bisa bertahan hidup. Sejujurnya aku ingin memanjakan bidadariku, namun apalah daya. Aku hanya salah langkah. Aku tak bisa sedikit lebih bersabar untuk melanjutkan kuliahku, bekerja di kantoran, lalu melamar Seta. Terlepas dari kedua orangtuanya menerima atau menolak lamaranku, harusnya aku tak peduli.

Sekarang aku menyesal. Benar-benar menyesal. Ternyata kehidupan pernikahan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ujian demi ujian kami hadapi dengan teguh. Tapi akhirnya bidadariku terbangun dari  mimpi buruknya. Memberontak dengan sekuat tenaga. Melepaskan semua amarahnya kepadaku. Ya, kemana lagi kalau tidak kepadaku. Hanya akulah penyebab semua mimpi buruknya ini. Hanya akulah yang mengubah seorang bidadari menjadi upik abu. Hanya akulah yang salah seperti semua ucapannya selama ini.

"Semua ini salahmu" ucapnya sesenggukan.

Aku ingin sekali memeluknya, menenangkannya, menghaus airmatanya. Bidadariku yang tercantik. Bahkan tanpa berdandan pun menurutku dia sangat cantik. Bahkan ketika kulitnya tak lagi putih seperti dulu menurutku masih cantik.

Aku masih ingin bersamanya. Aku ingin bahagia bersamanya. Bersama bidadariku tercinta. Tak peduli berapa makian dari mulutnya terucap. Aku masih mencintainya, cinta yang sama saat pertama kali bertemu dengannya.

Tangannya mengayunkan sesuatu ke dadaku. Aku tahu, karena aku waras. Tapi aku tak ingin menghindarinya. Aku tak ingin membuatnya bersedih lagi. Aku tak ingin melihatnya menangis. Membiarkan semua ini terjadi karena ternyata kesabaranku sudah mencapai puncaknya. Aku benar-benar bersabar atas semua tindakannya. Dan kali ini mungkin terakhir kalinya.

"Seta, aku selalu mencintaimu, sampai kapanpun" ucapku lalu menutup mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun