Ini hari penting bagiku, aku akan melaksanakan akad nikah hari ini. Jika biasanya seorang mempelai akan bahagia di hari pernikahannya. Tidak denganku, aku sudah tidak enak makan dari kemarin. Bahkan pagi ini, usai subuh, aku pun belum bisa memasukkan sepotong kue di mulutku. Bukan karena sibuk, melainkan aku sudah tidak ada nafsu makan maupun minum.
Aku harusnya merasa bersyukur karena pada akhirnya aku menemukan pelabuhan terakhirku, seorang lelaki yang kelak akan melindungiku. Seorang lelaki yang kelak menuntunku menuju Surga-Nya. Tapi aku juga merasa ragu apakah keputusanku ini benar adanya. Ibundaku pernah bicara, pernikahan itu bukan hanya untuk satu dua hari, bukan untuk satu dua bulan, bukan juga untuk satu dua tahun, melainkan untuk selamanya. Hanya maut yang akan memisahkan di dunia. Jika suami istri adalah seorang yang sholih sholihah mereka akan berjumpa kembali di Surga-Nya.
Usai solat subuh, perias pengantin sudah datang. Bu Yem, aku memanggilnya. Merupakan tetanggaku yang mengenalku sejak masih kecil. Paras bahagia tersirat dari tatapan matanya. Bu Yem menganggapku seperti anak sendiri. Kau tahu kan bagaimana bahagianya jika anak kita telah menemukan jodoh yang sholih.
Kau tahu, aku merasa sangat galau. Kuremas tanganku yang mulai dingin. Bukan dingin karena terkena kipas angin, melainkan dingin karena sangat takut. Aku takut aku tidak bisa mencintai suamiku. Aku takut akan mengecewakan banyak orang. Aku takut pernikahan ini akan terjadi.
Tunggu, aku telah berpikir untuk mangkir dari pernikahan ini? Seriuskah?
Itulah diriku, yang masih labil untuk nisa memasuki dunia pernikahan. Meskipun usiaku tak bisa dibilang masih muda. Aku sudah berusia dua puluh lima tahun. Aku harusnya sama seperti wanita lain yang siap dinikahi dan siap setia pada pasangannya.
Tanganku masih terasa dingin. Masih juga kuremas-remas tanganku untuk menghilangkan kegalauanku. Sementara Bu Yem masih sibuk menghias parasku. Tangannya sangat terampil hingga aku tidak lagi mengenali wanita yang terbias di depan cerminku. Siapa dia? Mengapa hanya matanya saja yang sendu. Sementara pipinya sudah merah merona. Seulas warna merah tipis mewarnai bibirnya. Bulu matanya lentik. Ah, dia begitu cantik. Berbeda dengan diriku ini.
Tunggu, wanita di bias kaca...bukankah itu diriku????
Lalu siapa lelaki yang ada di belakangku.
"Surprise..." suara bass lelaki di belakangku.
Tentu saja aku terkejut dan tidak menyadari kehadirannya. Bukankah pikiranku sibuk mengatur strategi agar pernikahan ini tidak terjadi.