Mohon tunggu...
Eka suci Cahyanii
Eka suci Cahyanii Mohon Tunggu... Mahasiswi uin_suka ( 24107030001)

suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Malam dan Rindu Bertemu di Malioboro

30 Mei 2025   12:15 Diperbarui: 30 Mei 2025   12:15 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi pribadi

Malioboro bukan sekadar jalan. Ia adalah nyawa Kota Yogyakarta yang berdetak tanpa henti, seperti denyut nadi yang terus mengalirkan kehidupan ke seluruh penjuru kota. Terletak di jantung kota, Malioboro menjadi saksi bisu pertemuan antara sejarah, budaya, dan kehidupan urban yang terus berkembang. Siang maupun malam, jalan ini tak pernah benar-benar sepi. Setiap orang yang melintas membawa semangat, cerita, dan kenangan.menjadikan Malioboro bukan hanya tempat wisata, melainkan pengalaman batiniah yang membekas dalam ingatan siapa pun yang pernah singgah.Nama "Malioboro" konon berasal dari nama seorang bangsawan Inggris, Marlborough, yang pernah tinggal di Yogyakarta pada masa kolonial. Sejak era Belanda, jalan ini sudah menjadi poros penting dalam tatanan kota. Jalur ini menghubungkan Tugu Pal Putih di utara dengan Keraton Yogyakarta di selatan. Namun, lebih dari sekadar koneksi geografis, Malioboro juga menjadi bagian dari sumbu filosofis dalam kosmologi Jawa yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton, dan Pantai Selatan (Parangtritis). Ini adalah simbol harmoni antara dunia atas, tengah, dan bawah, antara yang spiritual dan yang duniawi.Di masa lalu, Malioboro berperan sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Banyak bangunan kolonial berdiri megah, seperti Hotel Garuda, Benteng Vredeburg, dan pasar legendaris Beringharjo. Gedung-gedung ini bukan hanya bukti sejarah, tetapi juga cermin perubahan zaman yang terus berlangsung. Beringharjo sendiri telah menjadi denyut ekonomi rakyat sejak abad ke-18. Hingga kini, suasana pasar itu masih riuh oleh aktivitas jual beli---kain batik, rempah-rempah, jamu tradisional, hingga pernak-pernik antik.Berjalan di sepanjang Malioboro ibarat menyusuri jalur waktu. Di kanan-kiri jalan, pedagang kaki lima dengan ramah menawarkan dagangannya dari kerajinan tangan khas Jogja seperti batik tulis, gelang kayu, topeng, hingga aksesoris berbahan kulit. Para penjual tidak hanya berdagang, tetapi juga berbagi kisah, menawarkan keramahan khas Jogja yang membedakan mereka dari tempat lain. Proses tawar-menawar seringkali menjadi ruang interaksi sosial yang hangat dan akrab.

Sumber : Dokumentasi pribadi
Sumber : Dokumentasi pribadi
Suasana Malioboro selalu hidup. Siang hari, keramaian datang dari wisatawan, pelajar, seniman, hingga warga lokal. Ada pengamen yang menyanyikan lagu keroncong atau balada lawas, seniman sketsa yang duduk bersila menawarkan jasa gambar wajah, hingga komunitas kecil yang menggelar pameran seni jalanan. Di sore hingga malam hari, suasana berubah menjadi lebih syahdu. Lampu-lampu jalan menyala dengan temaram, memberikan kesan romantis dan nostalgia yang dalam.Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan revitalisasi besar-besaran terhadap Malioboro. Trotoar kini lebih lebar, lebih ramah pejalan kaki, serta dihiasi bangku dan ornamen seni khas Jawa. Beberapa jam dalam sehari, Malioboro juga menjadi kawasan bebas kendaraan bermotor. Ini memberikan ruang yang lebih leluasa bagi pengunjung untuk menikmati suasana tanpa bising klakson dan asap kendaraan. Di sisi lain, para petugas kebersihan dan ketertiban berjaga agar area tetap nyaman bagi semua.Revitalisasi ini tidak hanya mempercantik kawasan, tapi juga memperkuat identitas budaya Malioboro. Kini, wisatawan dapat lebih menikmati detail arsitektur, patung-patung kecil, hingga lukisan mural yang menceritakan kisah Yogyakarta dari masa ke masa. Bahkan, beberapa titik kini menjadi spot foto favorit yang viral di media sosial.Tak bisa dilepaskan dari pesona Malioboro adalah kuliner khasnya. Di sepanjang gang-gang kecil seperti Sosrowijayan, Mangkubumi, dan Dagen, tersebar banyak warung dan angkringan yang menyajikan menu khas Jogja seperti gudeg, sate klathak, bakmi Jawa, dan tentu saja kopi joss atau kopi hitam yang disajikan dengan bara arang panas di dalamnya. Menikmati makan malam sambil melihat hiruk pikuk jalan, musik jalanan, dan senyuman hangat penjual adalah pengalaman yang sulit dilupakan.Untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih personal, saya berbincang dengan Mutya, seorang perantau dari Kalimantan yang baru pertama kali datang ke Jogja.Apa yang membuat kamu tertarik ke sini?"Awalnya mulanya tuh, kaya sering fyp di TikTok tentang Malioboro dan tentang Jogja, nah terus itu aku denger-denger Jogja itu kota pelajar juga, jadi kaya minat buat ke sini. Dan salah satu ikon Jogja yang terkenal itu Malioboro kan, jadi aku ke sini gitu," ujar Mutya sambil tersenyum malu.Bagi Mutya, Malioboro bukan hanya destinasi wisata, melainkan impian yang menjadi nyata. Ia merasakan kedekatan emosional yang sulit dijelaskan. "Rasanya tuh beda aja, kaya tenang tapi ramai, damai tapi hidup," tambahnya.Saat malam menjelang, Malioboro justru menunjukkan wajah terbaiknya. Jalan ini seperti berdandan untuk menyambut malam. Musik tradisional menggema di sudut-sudut jalan. Beberapa pengunjung memilih duduk santai di bangku besi sambil menyantap jagung bakar atau es dawet. Ada juga yang menuliskan catatan kecil di buku harian, seolah ingin mengabadikan malam Jogja yang penuh rasa.
Sumber: Dokumentasi pribadi
Sumber: Dokumentasi pribadi
Tak hanya menjadi ruang bagi turis dan pedagang, Malioboro juga adalah tempat bernaung bagi seniman lokal. Banyak pelukis, pemahat, dan pengrajin yang menggantungkan hidupnya di sepanjang jalan ini. Karya mereka menjadi bagian dari lanskap budaya Malioboro. Setiap sapuan kuas, setiap ukiran kayu, adalah wujud cinta terhadap Jogja.Malioboro bukan hanya sebuah jalan. Ia adalah jiwa dari Yogyakarta jiwa yang sabar, ramah, penuh kenangan, dan selalu membuka diri bagi siapa pun yang ingin mengenalnya lebih dekat. Di setiap sudutnya terdapat kisah, harapan, dan kebersamaan. Perpaduan antara sejarah panjang, budaya leluhur, dan dinamika sosial masa kini menjadikan Malioboro sebagai ikon yang tak tergantikan.Siapa pun yang datang ke Yogyakarta, cepat atau lambat pasti akan merindukan suasana hangat dan hidupnya Malioboro. Tempat ini bukan hanya untuk dikunjungi, tetapi untuk dirasakan, dinikmati, dan disimpan dalam hati. Karena Malioboro adalah ruang bagi semua tempat di mana kenangan tercipta, dan rindu selalu pulang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun