Mohon tunggu...
Eka Satya Putra
Eka Satya Putra Mohon Tunggu... Pensiunan, praktisi manajemen manufaktur

Hobi membaca sebagai wacana eksplorasi dunia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Krisis 2008 dan Keadilan yang Hilang: Mengapa Pelaku Krisis Global Tidak Pernah Dipenjara?

22 September 2025   14:38 Diperbarui: 22 September 2025   14:38 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump mendeklarasikan "Hari Pembebasan" (Liberation Day). Deklarasi ini bertepatan dengan pengumuman kebijakan tarif timbal balik (reciprocal tariff) terhadap barang impor, yang katanya akan "membebaskan" AS dari ketergantungan dengan memaksa para eksportir membangun pabrik di dalam negeri. Trump bahkan menjanjikan "sembilan puluh kesepakatan dalam sembilan puluh hari", mengguncang pasar global dan membuat dunia panik.

Gelombang kepanikan itu mengingatkan kita pada satu peristiwa: krisis subprime mortgage 2008 yang juga bermula dari AS.

Pada tahun itu, dunia menyaksikan krisis finansial terburuk sejak Depresi Besar. Bank-bank terbesar di AS runtuh, pasar saham global hancur, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan, rumah, serta tabungan mereka, menurut laporan The Financial Crisis Inquiry Commission (2011). Namun, yang paling mencengangkan, 15 tahun kemudian, hampir tidak ada eksekutif Wall Street yang dipenjara, sebagaimana disorot oleh Jed S. Rakoff (2014), seorang hakim federal, dalam esainya yang terkenal di The New York Review of Books. Yang ada hanyalah denda perusahaan yang---bagi para bankir---tak lebih dari sekadar "biaya operasional".

Mengapa hukum begitu lemah menghadapi kekuatan finansial? Dan, seperti yang kita rasakan kembali dari kebijakan Trump hari ini, apa artinya bagi kita yang hidup dalam sistem global yang saling terhubung dan rentan terhadap kejutan dari satu episentrum kekuasaan?

Krisis subprime mortgage bermula dari keserakahan yang dilegalisasi. Bank-bank AS dengan gegabah memberikan pinjaman perumahan berisiko tinggi ("subprime") kepada orang yang jelas-jelas tidak mampu membayar. Pinjaman bom waktu ini lalu dibungkus dengan cantik menjadi produk finansial kompleks---Mortgage-Backed Securities (MBS) dan Collateralized Debt Obligations (CDO)---lalu dijual ke investor di seluruh dunia. Saat gelembung properti akhirnya pecah, seluruh sistem finansial global ikut kolaps.

Dampaknya begitu mengerikan dan benar-benar global. Di Amerika Serikat, 8,8 juta orang kehilangan rumah mereka akibat foreclosure, seperti dicatat oleh firma analitis CoreLogic. Kekayaan rumah tangga global pun menyusut lebih dari $13 triliun, sebuah angka fantastis yang dipublikasikan oleh Federal Reserve Bank of St. Louis. Bahkan negara berdaulat seperti Islandia dan Yunani nyaris bangkrut, diterpa badai krisis yang bukan ulah mereka.

Lalu, di mana keadilan? Mengapa para pelaku utama di balik penderitaan global ini hampir semuanya bebas berkeliaran?

Jawabnya terletak pada tiga kegagalan sistemik. Pertama, hukum AS mensyaratkan pembuktian "beyond a reasonable doubt". Membuktikan bahwa seorang bankir secara sengaja menipu, dan bukan hanya melakukan kesalahan judgemen dalam mengambil risiko, adalah hal yang sangat sulit. Kedua, kekuatan lobi Wall Street begitu perkasa. Data dari OpenSecrets.org menunjukkan industri keuangan telah menghabiskan $2,7 miliar untuk melobi politik dalam dekade sebelum krisis, melumpuhkan kemampuan regulator untuk mencegah malapetaka. Ketiga, regulator seperti SEC lebih memilih jalan damai: denda perusahaan alih-alih penuntutan individu.

Akibatnya, seperti diakui oleh Departemen Kehakiman AS (DOJ) sendiri, hanya segelintir eksekutif level menengah yang berakhir di penjara. Sementara para CEO puncak seperti Dick Fuld (Lehman Brothers) dan Lloyd Blankfein (Goldman Sachs) sama sekali tidak menyentuh jeruji besi.

Krisis ini dengan brutal memperlihatkan sebuah ketidakadilan global. Investor kecil di Hong Kong kehilangan miliaran dolar melalui produk "Lehman Mini-Bonds", seperti yang diinvestigasi oleh Otoritas Moneter Hong Kong (HKMA). Namun, hukum AS hanya melindungi kepentingan domestiknya. Pesan implisitnya jelas: Wall Street boleh mencari untung dari seluruh penjuru dunia, tetapi mereka tidak akan bertanggung jawab penuh ketika sistem yang mereka bangun runtuh dan melukai orang lain.

Lalu, adakah harapan? Kebangkitan kekuatan ekonomi baru seperti Tiongkok dan blok BRICS+, yang kini menyumbang porsi besar dalam PDB global menurut data IMF, menawarkan potensi tata kelola dunia yang lebih multipolar dan mungkin lebih adil. Namun, multipolaritas saja tidak cukup. Dunia harus secara aktif membangun sistem yang lebih inklusif: mereformasi lembaga global agar suara negara berkembang didengar, menciptakan mekanisme kompensasi global untuk korban krisis finansial, dan membangun kerangka penegakan hukum lintas batas yang bisa menyelidiki kejahatan ekonomi global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun