Pernyataan tersebut bukan sekadar retorika. Di tengah transformasi sistem kesehatan nasional yang kini bergulir cepat, penguatan layanan diagnostik menjadi elemen kunci yang tak bisa ditunda. Kita tidak hanya berbicara soal alat dan teknologi, tapi soal strategi dan keberpihakan sistem. Dan dalam hal ini, Puskesmas seharusnya menjadi aktor utama, bukan sekadar pelaksana program.
Indonesia saat ini menghadapi beban ganda penyakit: penyakit menular seperti TBC dan DBD masih membayangi, sementara penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit jantung perlahan tapi pasti menggerogoti daya tahan masyarakat. Sayangnya, masih terlalu banyak kasus yang ditemukan dalam kondisi lanjut, padahal skrining dan deteksi dini adalah solusi paling murah dan paling efektif.
Labkesmas dan Program Skrining: Sudahkah Setara di Akar?
Kita patut mengapresiasi upaya pemerintah dalam memperkuat Labkesmas dari tingkat nasional (Tier 5) hingga Puskesmas (Tier 1). Namun, realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan besar. Banyak Puskesmas belum memiliki tenaga analis laboratorium, keterbatasan alat, serta minimnya sistem pencatatan yang terintegrasi. Bahkan, sebagian besar masih bergantung pada penginputan manual ke berbagai aplikasi yang tidak saling berbicara satu sama lain.
Program Cek Kesehatan Gratis sejatinya sangat potensial. Tapi tanpa strategi nasional diagnostik yang mengutamakan layanan primer, program ini berisiko menjadi gerakan sesaat, bukan sistem yang berkelanjutan.
Masihkah Puskesmas Dianggap Tambahan?
Dalam setiap diskusi kebijakan, Puskesmas kerap disebut. Tapi dalam pembiayaan, regulasi, dan pelatihan---posisinya masih rentan. Sudah saatnya ada keberanian politik untuk mengalokasikan insentif berbasis kinerja (pay-for-performance) pada capaian skrining Puskesmas, termasuk menempatkan SDM analis laboratorium sebagai kebutuhan wajib, bukan opsional.
Solusi yang dapat diprioritaskan adalah:
1. Sistem pencatatan skrining harus disederhanakan dan terintegrasi dalam platform tunggal berbasis SATUSEHAT.
2. Pembiayaan skrining di Puskesmas harus masuk dalam skema kapitasi berjenjang atau DAK khusus.
3. Kolaborasi dengan dunia usaha dan universitas dibuka untuk pilot teknologi diagnostik portabel berbasis kebutuhan layanan primer.
Kolaborasi atau Kompetisi?
Jangan sampai sektor primer dan sekunder berlomba dalam skrining dan diagnostik. Yang diperlukan adalah jejaring rujukan yang solid. Puskesmas harus menjadi penyaring awal yang cepat dan akurat, sementara rumah sakit menjadi tempat penanganan lanjutan. Kolaborasi lintas sektor dan lintas level layanan harus difasilitasi dengan regulasi yang adil dan berpihak pada akses.
Diagnostik adalah Keadilan Kesehatan
Diagnostik bukan hanya soal teknologi, tetapi tentang keadilan. Setiap warga, dari kota sampai pelosok, berhak tahu kondisi kesehatannya lebih awal, sebelum terlambat. Dan keadilan itu harus dimulai dari Puskesmas.
Puskesmas tidak boleh hanya dilihat sebagai pelengkap, tetapi sebagai pondasi. Tanpa menguatkan layanan primer, strategi nasional diagnostik hanya akan menjadi menara gading. Maka kini saatnya kita bertanya: apakah strategi nasional ini membumi---atau hanya berputar di awang-awang?
Ekasakti Octohariyanto
Sekretaris Jenderal APKESMI (Akselerasi Puskesmas Indonesia)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI