Tentu saja musibah ini  membuat Ikatan Dokter Indonesia sedih dan  prihatin. Pimpinan IDI sudah beberapa kali berteriak meminta Pemerintah serius menangani pandemic ini.
Salah satu yang dituding IDI pemerintah lamban menyediakan perangkat kesehatan seperti Alat Pelindung Diri (APD). IDI juga  mengeluhkan ketersediaan obat  dan vaksin yang belum ditemukan.
Sebuah pertanyaan yang tentu wajar adanya, bergolak di hati masyarakat. Kenapa Indonesia kesulitan menghalau virus yang super halus ini ?
Jawaban yang entah tepat atau tidak, saya merabanya dengan logika dan sedikit hitung-hitungan mistis, seperti ini :
Pertama sebaran virus itu serentak di hampir semua Provinsi yang tersebar di 17 ribu pulau.
Kedua, keterbatasan persediaan obat dan ketiadaan vaksin serta alat-alat kesehatan. Sisi lain juga keterbatasan tenaga medis.
Ketiga disiplin masyarakat  yang rendah terhadap protokol kesehatan.
Keempat, ini  yang  merupakan hal krusial,  kondisi ekonomi kita yang "memble". Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum adanya wabah ini pun sudah terbilang rendah. Selama lebih dari 5 tahun terakhir, berkutat diangka 5 %. Bahkan pernah 4,7 persen pada tahun 2018.
Apalagi setelah hadirnya pandemic Covid. Mahluk tanpa bentuk itu mendarat di bumi kita awal Maret 2020.
Pada 3 bulan  pertama, pertumbuhan ekonomi kita anjlog sampai minus 2,7 %. Lalu pada kuartal ke tiga, lebih dalam lagi terperosok. Kondisi ini menurut beberapa ekonom sesungguhnya tertolong oleh keputusan pemerintah yang tidak  melakukan "lockdown".
Dengan kebijakan non lockdown, Â lalu lintas ekonomi masih bisa berjalan meski merayap seperti keong buta. Keong tidak buta saja merayapnya bukan kepalang, apa pula keong yang tak bisa melihat alias buta.