Aku mencari-cari keberadaan dirimu,
Di antara batu-batu purba itu,
Surosowan, demi malam kan kukutuk bulan menjadi awan,
Kalau menggugurkan impianku membacakan kisahmu. --(Surosowan Pada Catatan Duka, Bagus Bageni)
Puisi diatas menggambarkan kegelisihan seorang anak muda Banten yang merindukan terwujudnya sosok surosowan, entah apa wujud dan bentuknya sang surosowan.
Yang merupakan simbol kebudayaan Banten, jati diri masyarakat Banten. Kini surosowan tinggal puing dan cerita yang hilang. Anak muda itu seperti anak ayam kehilangan induknya, kehilangan arah tak tahu kemana harus mencari identitas dirinya. Jati diri masyarakat Banten terkubur bersama sejarah, seiring dihancurkannya Keraton Surosowan abad ke-18 silam. Surosowan kini tak bisa dibangkitkan lagi, seperti halnya identitas budaya Banten yang telah hilang entah kemana.
Sekitar 14 km sebelah utara Kota Serang, Provinsi Banten, tepatnya di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, kawasan Banten Lama, terdapat reruntuhan Keraton Surosowan. Bangunan ini dahulu merupakan istana kesultanan Banten yang menjadi pusat kerajaan dan tempat tinggal sultan bersama keluarga dan pengikutnya. Kini, reruntuhan tersebut hanya meninggalkan misteri dibalik masa keemasannya yang telah hilang.
Setelah ratusan tahun menjadi puing sampai saat ini Keraton Surosowan tidak bisa dibangun lagi, ada banyak hal yang menyebabkan peninggalan bersejarah itu tidak bisa direkontruksi, salah satunya karena material bangunan asli keraton sudah banyak yang hilang dipindahkan oleh penjajah Belanda untuk membangun gedung-gedung pemerintahan di Kota Serang.
Seperti diungkapkan Kepala Museum Kepurbakalaan Banten Lama, Turmudi, Surosowan tidak dapat direkontruksi utuh seperti semula, karena tidak ada bukti yang kuat mengenai bentuk Surosowan hingga atap. Rekontruksi Keraton Surosowan maksimal hanya dapat dilakukan hingga pondasi bangunan, karena untuk merekontrusi keraton secara utuh dibutuhkan bahan-bahan bangunan yang sama, baik kualitas maupun warna seperti bangunan awalnya. Rekontruksi Keraton Surosowan tidak dapat dilakukan seperti rekontruksi Candi Borobudur atau Candi Prambanan.
“ Rekontruksi keraton tidak seperti rekontruksi candi. Kalau candi ada kunciannya, ada sandi-sandinya, dan sudah ada bagian-bagiannya, kalau surosowan tidak bisa, hanya bisa sampai begitu saja, diatas kertas bisa, namun secara fisik tidak mungkin.” Tegas Turmudi.
Turmudi menjelaskan, dahulu surosowan berwujud gundukan tanah ditumbuhi rerumputan berbukit-bukit, kemudian dilakukan penggalian untuk mengetahui bentuk dan mencari peninggalan lainnya.
Diketahui, Keraton Surosowan adalah sebuah keraton di Banten. Keraton ini dibangun sekitar tahun 1522-1526 pada masa pemerintahan Sultan pertama Banten, Sultan Maulana Hasanudin dan melibatkan arsitek asal Belanda, yaitu Hendrik Lucasz Cardeel, yang kemudian memeluk islam dan bergelar Pangeran Wiraguna.
Seperti keraton di Jawa, Keraton Surosowan juga berfungsi sebagai tempat tinggal sultan beserta keluarga dan pengikutnya. fungsi lainnya, keraton juga menjadi pusat dalam menjalankan pemerintahan Kesultanan Banten. Hal ini terlihat dalam tata pola yang mengikuti kerajaan Islam lainnya di Jawa yang memiliki Alun-Alun di sebelah utara, Masjid Agung di bagian barat dan pasar serta pelabuhan di sisi timur dan utara keraton.
Keraton Surosowan sebagai tanda kejayaan kesultanan Banten, berdiri dan dibangun dengan kata "Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis" yang memiliki arti "Membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang". Takluknya Prabu Pucuk Umun di Wahanten Girang (sekarang dikenal dengan daerah Banten Girang di Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang - Wahanten Girang merupakan bagian wilayah dari Kerajaan Padjadjaran yang berpusat di Pakuan - sekarang dikenal dengan wilayah Pakuan Bogor) pada tahun 1525 selanjutnya menjadi tonggak dimulainya era Banten sebagai Kesultanan Banten dengan dipindahkannya pusat pemerintahan Banten dari daerah pedalaman ke daerah pesisir pada tanggal 1 Muharam 933 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 (Microb dan Chudari, 1993:61).