Mohon tunggu...
Ezra Valentino
Ezra Valentino Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merasa Kurang Produktif? Belajarlah dari Kehidupan Jokowi

5 Juni 2017   10:55 Diperbarui: 5 Juni 2017   11:46 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam KBBI, Produktivitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu; daya produksi; keproduktifan. Saya pernah sok membuat hipotesis bahwa produktivitas dibentuk dari 2 kata, yaitu “produksi + aktivitas = produktivitas.” Tidak tahu benar atau salah. Setidaknya saya pernah membuat teori.

Namun yang pasti, isu minimnya produktivitas adalah masalah yang harus segera diselesaikan oleh bangsa ini.

Bangsa ini memang belum bisa dibilang sebagai bangsa yang produktif. Anak muda Indonesia terbukti lebih memilih menghabiskan waktunya untuk nongkrong bersama teman-temannya daripada belajar. Jika punya waktu kosong, anak muda Indonesia akan lebih memilih menggunakan waktunya untuk bermain social media, nonton tv, dan bermain game online daripada harus melakukan kegiatan produktif seperti olahraga, belajar bahasa asing atau membaca buku.

Begitu juga dengan generasi tuanya. Sebagai contoh, coba saja kita lihat kinerja DPR. Tahun 2016, DPR menargetkan untuk membuat 50 RUU. Namun, hanya 9 RUU yang berhasil dibuat dalam satu tahun. Tidak sampai seperlima dari target. Bukannya fokus bekerja, DPR malah sibuk membahas rencana renovasi gedung DPR, permintaan kenaikan tunjangan DPR dan permintaan paspor diplomatik. Permintaan mereka sangat bertolak belakang dengan kinerjanya.

Rakyat Indonesia sejatinya tidaklah bodoh. Lihat saja, setiap tahun selalu ada anak-anak muda Indonesia yang masuk TV karena memenangkan olimpiade sains tingkat internasional. Indonesia pernah juara olimpiade robot tingkat internasional. Anak muda Indonesia juga pernah membuat mobil listrik sendiri. Itu membuktikan bahwa otak orang Indonesia tidak bisa diragukan kecerdasannya.

Namun pertanyaannya, sekarang kemana semua orang-orang cemerlang itu? Semuanya seolah-olah hilang terbawa angin. Dulu berprestasi di tingkat internasional, sekarang malah dilupakan.


Banyak kalangan yang menyalahkan pemerintah. Orang-orang bilang bahwa pemerintah tidak mengapresiasi dan tidak mau mendanai karya anak bangsa. Tetapi menurut saya, untuk apa pemerintah mendanai karya anak bangsa?

Kita ambil contoh Rio Haryanto. Pemerintah pernah berwacana mengeluarkan dana sebesar 100 milyar rupiah untuk membiayai Rio Haryanto berlaga di F1, namun akhirnya batal terjadi. Banyak kalangan yang berpikir bahwa pemerintah tidak mendukung karier Rio di F1. Tetapi menurut saya, untuk apa karier Rio didukung pemerintah?

Indonesia punya Agnes Monica, Anggun, dan Rich Chigga, musisi Indonesia yang sudah menapaki karier di dunia internasional. Apakah mereka minta dana pemerintah? Tidak. Indonesia memiliki Tantowi Ahmad dan Liliyana Natsir yang meraih emas olimpiade. Apakah kemenangan mereka karena campur tangan pemerintah? Tidak juga. Indonesia punya Joey Alexander, pianis Indonesia kelahiran tahun 2003, yang mampu tampil di panggung Grammy dan mampu masuk 2 nominasi Grammy Award. Apakah Joey didanai pemerintah? Mana mungkin!

Prestasi mereka membuktikan bahwa "tidak ada dukungan pemerintah" bukanlah alasan untuk berhenti berkarya. Saya percaya jika Rio Haryanto tidak menyerah dan jika Tuhan mendukung, tidak mustahil untuk Rio berprestasi di F1 tanpa campur tangan pemerintah, namun karena kemampuannya sendiri.

Menurut saya, ada satu hal penting yang membuat rakyat Indonesia takut berkarya dan akhirnya menjadi tidak produktif, yaitu: rakyat Indonesia belum bisa mengatur bagaimana caranya berekspektasi dengan benar. Mungkin anda bertanya, "apa hubungannya ekspektasi dengan produktivitas?" Biar saya jelaskan. Berekspektasi adalah hal yang bagus, hal yang benar malah. Namun, akan menjadi salah jikalau kita hidup dalam ekspektasi dan malah tidak menerima realita yang ada.

Saya pernah mendengar cerita.

Suatu hari ada seorang anak yang bisa menemukan listrik dari buah mangga. Anak ini merasa bahwa idenya sangat brilian dan merasa tetangga-tetangganya dan pemerintah akan mendukung idenya. Dia bermimpi tinggi bahwa dia akan menjadi ilmuwan hebat dengan listrik dari mangganya. Ekspektasinya sangat besar.

Namun, ternyata tetangga-tetangganya tidak merasa penemuannya spesial. Pemerintah pun tidak terlalu mengapresiasi idenya. Ternyata realita yang terjadi tidak sesuai dengan ekspektasi. Karena anak ini terlalu banyak berekspektasi, kegagalan menjadi pukulan yang sangat pahit baginya. Sekarang, anak ini sudah dewasa dan dia bekerja di kantor kelurahan tempat ia tinggal. Saya tidak tahu dia bekerja dibagian apa, tapi yang pasti kantor kelurahan tidak membutuhkan ilmuwan.

Ekspektasi yang terlalu tinggi (dan gagal) akhirnya membunuh mimpinya.

Saya merasa mungkin ini adalah kasus yang sama dengan yang dihadapi oleh pemenang-pemenang olimpiade di ajang internasional. Mereka berharap di Indonesia mereka pulang menjadi pahlawan. Ekspektasi mereka begitu tinggi. Ternyata, ketika mereka pulang, hanya segelintir orang mungkin yang menyambut mereka. Bahkan, di Gorontalo ada mantan petarung olimpiade yang sekarang menjadi penjaga kandang ayam.

Dunia memang terlalu kejam, jika kita hanya fokus dengan ekspektasi kita saja.

Mari kita bandingkan dengan Presiden kita, Joko Widodo. Jokowi punya karir yang sangat bagus. Lahir dari keluarga miskin dan pernah digusur, akhirnya Jokowi mampu menjadi seorang pengusaha meubel. Tapi kariernya tidak berhenti disitu. Dia ternyata mampu menjadi walikota Solo, lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan kini menjadi Presiden RI. Ada hal unik yang menyertai perjalanan karier Jokowi.

Jokowi tidak pernah berekspektasi terlalu tinggi, yang beliau percayai adalah kerja keras dan etos kerja.

Jokowi tidak pernah berekspektasi mendapat jabatan setinggi-tingginya. Sebelum pemilu 2014, nama-nama seperti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, Surya Paloh, dan Wiranto adalah nama-nama yang digadang-gadang akan menjadi Presiden RI ke-7. Kita semua pasti tahu tidak pernah sekalipun mulut Jokowi mengatakan jika ia akan melaju menuju RI-1.

Namun ternyata hasil kerja dan prestasinya berteriak lebih keras daripada mulutnya.

Itu kenapa rakyat lebih memilih “anak baru” daripada harus memilih politisi-politisi senior yang kontribusinya terhadap negara bisa dibilang tidak besar-besar amat.

Setelah dilantik menjadi presiden, banyak kalangan yang meragukan kepemimpinannya. Beliau dianggap kurang tegas dan tidak cakap dalam berpidato. Diawal kepemimpinan, Beliau pun selalu terlihat linglung jika harus mewakili Indonesia di tingkat internasional. Maklum wong ndeso. Tetapi setelah bangsa ini dipimpin oleh beliau selama hampir 3 tahun, saya menyimpulkan satu hal. Tangan baja Jokowi senantiasa bekerja keras dibalik lembut tutur katanya.

Kawan, Presiden sudah mengajarkan suatu nilai berharga melalui perjalanan hidupnya. Fokuslah berkarya tanpa harus mengharapkan apresiasi. Bekerjalah tanpa harus banyak ekspektasi. Mengabdilah tanpa harus menyalahkan sistem, pemerintah, dan birokrasi.

JFK pernah berkata, " My fellow Americans, ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country"

Kalimat ini sangat mendeskripsikan Jokowi. Walau lahir dari keluarga miskin, beliau tidak mengeluh ataupun menuntut pemerintah. Jokowi tidak mengemis berharap bantuan pemerintah, tetapi Jokowi memilih untuk menjadi bagian dari pemerintah sehingga beliau bisa membantu orang-orang yang punya nasib sama dengannya. Bukankah kita seharusnya juga hidup seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun