Hidup kita hari ini dipenuhi dengan koneksi yang tak terbatas. WhatsApp grup bertebaran, Instagram stories berganti setiap detik, Twitter timeline tak pernah sepi, dan LinkedIn penuh dengan update teman-teman kerja. Kita bisa ngobrol dengan siapa saja, kapan saja, dari mana saja. Followers ribuan, friend list ratusan, contact phone yang sudah tidak muat lagi.
Tapi kenapa justru di tengah koneksi tanpa batas ini, rasa sepi makin sering menghantui? Kenapa malam-malam kita bisa merasa sendiri meski notifikasi terus berbunyi? Paradoks ini mungkin dialami oleh jutaan orang, tapi jarang yang berani bicara terang-terangan soal kesepian di era yang katanya paling terhubung dalam sejarah manusia.
Koneksi Virtual yang Dangkal
Mari jujur, berapa banyak dari ratusan teman di media sosial yang benar-benar kita kenal? Berapa banyak yang pernah kita ajak ngobrol serius di luar urusan kerja atau sekolah? Kebanyakan hubungan kita di dunia digital berhenti di level "like" dan "comment" singkat. "Keren nih!", "Congrats ya!", "Semangat!", dan sejenisnya.
Interaksi semacam ini memberikan ilusi kedekatan, tapi sebenarnya dangkal. Kita tahu siapa yang baru liburan ke Bali dari Instagram story, tapi tidak tahu dia sedang struggle dengan masalah keluarga. Kita lihat teman posting pencapaian terbaru di LinkedIn, tapi tidak tahu dia sebenarnya burnout dan butuh seseorang untuk diajak curhat.
Akibatnya, meski dikelilingi ratusan "teman" online, kita tetap merasa hampa. Ada perasaan aneh ketika scroll feed—seolah melihat kehidupan orang lain dari balik kaca, bisa lihat tapi tidak bisa menyentuh atau benar-benar terlibat. Kita jadi penonton dalam teater kehidupan orang lain, sementara panggung kita sendiri terasa kosong.
Budaya Pamer dan Perbandingan yang Tak Berujung
Media sosial telah menciptakan budaya di mana semua orang berlomba-lomba menampilkan versi terbaik dari hidup mereka. Timeline kita dipenuhi foto liburan yang instagramable, pencapaian karir yang gemilang, relationship goals yang bikin iri, dan momen-momen bahagia yang perfectly curated.
Masalahnya, kita mulai membandingkan behind-the-scenes kehidupan kita dengan highlight reel orang lain. Ketika kita sedang struggle dengan tugas kuliah, timeline menunjukkan teman yang baru dapat beasiswa. Ketika kita sedang galau soal jomblo, feed dipenuhi foto couple goals. Ketika kita sedang susah cari kerja, LinkedIn menampilkan teman yang baru promosi.
Perbandingan yang tidak sehat ini membuat kita merasa tertinggal, tidak cukup baik, atau bahkan gagal. Alih-alih menggunakan media sosial untuk terhubung dengan orang lain, kita malah semakin menjauh—sibuk membangun citra online yang sempurna ketimbang menjalin hubungan yang tulus. Kita jadi lebih fokus pada jumlah likes daripada kualitas percakapan.
Hilangnya Ruang untuk Obrolan Jujur