Mohon tunggu...
Egi Juli saputra
Egi Juli saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Muhamadiyah Malang

Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Universitas Muhamadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Yang Rusak: Ketika Hak Memilih Dibeli Dengan uang

20 Juni 2025   09:35 Diperbarui: 20 Juni 2025   09:34 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DEMOKRASI YANG RUSAK: KETIKA HAK MEMILIH  DI BELI DENGAN UANG  

Demokrasi di Indonesia kini menghadapi tantangan besar ketika hak memilih yang seharusnya menjadi instrumen kedaulatan rakyat, justru dirusak oleh praktik jual beli suara. Fenomena ini telah menggeser makna demokrasi dari ruang adu gagasan menjadi sekadar transaksi ekonomi. Uang menjadi alat utama untuk memengaruhi pilihan politik masyarakat, sehingga pemilu tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat yang murni, melainkan kemenangan bagi mereka yang memiliki modal besar. Akibatnya, hasil pemilu kerap kali tidak merepresentasikan kualitas dan integritas calon pemimpin, melainkan kekuatan finansial di baliknya. Kondisi ini memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan institusi negara, karena masyarakat melihat suara mereka dihargai sebatas nominal uang, bukan sebagai hak politik yang sakral.

Akar permasalahan jual beli suara tidak lepas dari lemahnya penegakan hukum dan regulasi yang mengatur politik uang. Upaya pencegahan dan penindakan seringkali tidak efektif, bahkan terkadang praktik ini dianggap wajar oleh sebagian masyarakat yang pragmatis. Di sisi lain, kondisi ekonomi yang sulit membuat sebagian pemilih menganggap uang dari kandidat sebagai kompensasi atas ketidakpastian masa depan politik. Dilema moral pun muncul, di mana masyarakat dihadapkan pada pilihan antara idealisme demokrasi dan kebutuhan ekonomi sesaat. Situasi ini semakin memperkuat lingkaran setan politik uang, di mana rakyat kehilangan posisi tawar sebagai pemegang kedaulatan sejati dan pemilu hanya menjadi ajang pembagian "hadiah" menjelang hari pencoblosan.

Untuk menyelamatkan demokrasi dari kerusakan akibat politik uang, diperlukan kesadaran kolektif bahwa suara rakyat adalah instrumen perubahan, bukan barang dagangan. Reformasi regulasi pemilu harus dilakukan secara tegas, disertai penegakan hukum tanpa kompromi terhadap pelaku politik uang. Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat sangat penting agar mereka memahami nilai strategis hak memilih dalam membangun bangsa yang bermartabat. Hanya dengan menolak praktik jual beli suara, demokrasi yang sehat dan berkeadilan dapat terwujud. Jika praktik ini terus dibiarkan, demokrasi hanya akan menjadi ilusi, di mana kekuasaan dimiliki oleh mereka yang bermodal, bukan oleh rakyat. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersatu untuk memutus rantai politik uang dan mengembalikan marwah demokrasi ke tangan rakyat yang merdeka dan bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun